Mohon tunggu...
Kopral Jabrik
Kopral Jabrik Mohon Tunggu... Dosen - diisi apa?

Menjadi wartawan sejak pertengahan dekade 1970an. Mulai dari reporter Harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, di bawah bimbingan Hadjid Hamzah (almarhum). Sempat aktif di Gelora Mahasiswa (UGM), menulis di Majalah Q (Bandung), Majalah Psikologi Anda (Jakarta), menjadi wartawan Kompas (tahun 1980an, dibimbing oleh AM Dewabrata), redaktur pelaksana Harian Jayakarta, kepala biro Harian Suara Pembaruan (dekade 1990an), produser pemberitaan di SCTV, dosen jurnalistik dan manajemen di Universitas Sahid, Universitas Pelita Harapan dan Universitas Bhayangkara.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Selamat Jalan, Puang Fahmi...

5 Oktober 2015   01:30 Diperbarui: 5 Oktober 2015   01:30 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Buka bersama akhir Juni 2015 ternyata merupakan pertemuan terakhir dengan Fahmi Myala."][/caption]

 

Minggu 4 Oktober 2015 pagi, saya tersentak membaca pesan pendek dari nomor sahabat lama saya, Fahmi Myala, wartawan senior Kompas. Isinya: “….Saya Fadel, anaknya Pak Fahmi Myala, ayah meninggal hari Minggu 4 Oktober pk01.30…...” Saya tersentak, karena akhir Juni lalu sebelum pulang ke Makassar, Fahmi berjanji akan ke Jakarta lagi medio Agustus.

[caption caption="Info dari Fadel, putera bungsu HaJi Fahmi Myala"]

[/caption]

Pertemuan saya terakhir dengan Fahmi berlangsung Selasa 30 Juni 2015 petang. Waktu itu Fahmi dan istri berkunjung ke Jakarta guna menghadiri peringatan ulangtahun Harian Kompas. Saya dan Fahmi belakangan sering berkomunikasi, baik lewat pesan singkat maupun melalui telepon dan WasApps. Dalam kunjungannya ke Jakarta akhir Juni 2015, Fahmi dua kali berbuka puasa dengan saya. Saya ajak Fahmi dan sejumlah teman pensiunan Kompas berkumpul, mumpung mereka masih di Jakarta. Acara kumpul-kumpul itu gagal, karena teman-teman lain berhalangan. Akhirnya hanya saya dan Fahmi yang kluyuran. Fahmi hanya ditemani anak bungsunya yang bernama Fadel, sedang istrinya tidak ikut karena keesokan paginya mereka harus terbang pulang ke Makassar.

[caption caption="Kata Fahmi, beberapa teman tidak jadi berbuka bersama dengan kami di akhir Juni 2015."]

[/caption]

Sehabis makan malam di salah satu mal di Senayan, saya tawarkan kepada Fahmi dan putranya buat berkeliling melihat Ibu Kota di waktu malam. Sudah belasan tahun Fahmi tidak pernah melihat kehidupan Jakarta di waktu malam. Saya ajak mereka menelusuri Jalan Thamrin, Monas, Harmoni, Hayamwuruk, Stasiun Kota, Gadjahmada, Istana, lalu kembali ke Kalibata melalui Jalan Sudirman. Esok paginya, Fahmi dan istri pulang ke Makassar. “Wah, beda jauh. Dulu saya masih kluyuran pakai Vespa,” tutur Fahmi mengenang masa tahun 1980an.

[caption caption="Pesan Fahmi awal Juli 2015 sebelum pulang ke Makassar sehabis mengikuti perayaan HUT Kompas."]

[/caption]

Saya kenal Fahmi sejak awal dekade 1980-an, ketika saya masih menjadi reporter Kompas dan Fahmi berjabatan Kepala Biro Kompas di Makassar (ketika itu masih disebut Ujungpandang). Fahmi atau ‘fm’ adalah pria yang amat penyabar. Saya (dulu bernama panggil ‘ak’) kenal putra-putrinya sejak mereka masih balita, terutama si sulung Farah dan adiknya Fatah yang dulu pernah saya gendong-gendong. Awal Desember tahun 2014, Fahmi berkirim pesan singkat berkabar bahwa Fatah sedang berada di Jakarta: “Saat tinggalkan Mks ’87, ada anak sy sgt dekat dgn ‘ak’: Fatahillah, disapa Fatah……”

Dua-tiga hari kemudian saya jumpai Fatah. Bocah gendut yang dulu sangat lucu, kini telah tumbuh menjadi lelaki muda yang terampil. Kami ngobrol panjang lebar di salah satu mal di Jakarta Selatan. Selama berada di mal itu, Fatah banyak mengumpulkan informasi tentang berbagai event. Ternyata ia bekerja sebagai staf building management di salah satu mal di Makassar. Saya tahu bahwa pemilik mal itu adalah tokoh di Sulawesi Selatan yang kini jadi petinggi negara dan dulu sering jadi narasumber Fahmi. “Tapi bapak itu tidak tahu bahwa saya anak Fahmi Myala,” tutur Fatah.

Fahmi adalah orang pertama yang mengajak saya makan sop konro di pinggir lapangan karebosi pada awal dekade 1980an. Saya beberapa kali ke Makassar setelah itu. Ia juga yang mengajak saya makan ikan bakar di pinggir Pantai Losari, di kedai nelayan 'Tumbak Kayu Bangko' yang buka dari pagi sampai larut malam. Kami sering berkirim kabar satu dengan lain. Saya lakukan hal itu dengan sejumlah teman-teman lama dari Kompas. Sampai kini, setiap berkunjung ke daerah selalu saya usahakan bertemu dengan konco-konco lawas yang kebanyakan sudah pensiun.

 

[caption caption="Pertengahan Agustus 2015, Fahmi berkabar bahwa HP dan laptop istrinya dicuri orang dari dalam mobil."]

[/caption]

Beberapa kali Fahmi bertutur tentang kesehatannya yang menurun. Ia tidak pernah mengeluh. Hanya minta saya mendoakannya.
Fahmi memang pria sederhana yang sangat penyabar. Pertengahan dekade 1980-an saya pernah pinjam mobil dinas Fahmi (milik Kompas) dan mobil itu hancur akibat kecelakaan di Kabupaten Enrekang. Fahmi hanya tersenyum-senyum sewaktu mendapat kabar tentang kejadian itu. Dan justru kecelakaan itu membuat persahabatan saya dengan Fahmi menjadi makin akrab. Setahun belakangan ini, boleh dibilang komunikasi kami cukup intens.

[caption caption="Keberangkatan Fahmi ke Jakarta yang direncanakan medio Agustus 2015 tertunda. Pertengahan September Fahmi masih bergurau."]

[/caption]

Fahmi sering guyon. Akhir Maret 2015, misalnya, saya beroleh pesan singkat dari Fahmi. “Paguyuban pensiunan Kompas mengirimi saya ucapan selamat. Wah! Rupanya hari ini 22.03.2015 sy berulangtahun yang ke-70……” Di lain kesempatan, ia berkabar kondisi kesehatannya sedadng tidak baik sehingga harus dirawat di rumahsakit.

Beberapa hari kemudian Fahmi berkabar lagi dari rumahsakit, bercerita bahwa mantan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Amir Syamsuddin yang kebetulan berkunjung ke rumahsakit itu, sempat menjenguknya. Kunjungan tersebut sangat membangkitkan semangatnya. “Saya masih ingat dulu (tahun 1986-87) Mas Jabrik ajak Pak Amir singgah ke rumah saya…. Dan beliau tidak lupa dengan saya,”Fahmi mengulangi kisah kunjungan Amir Syamsuddin ke rumahnya maupun ke rumahsakit, ketika kami bertemu di Jakarta.

Banyak tokoh daerah Sulawesi Selatan yang ‘diorbitkan’ oleh tulisan-tulisan Fahmi. Tetapi ia tetap kritis dan lugas. Tak ada seorang pun yang bisa menjadi musuhnya. Fahmi terlalu baik dan tidak pernah marah. Teman-teman sungguh kehilangan atas kepergiannya. Teman-teman lama di Redaksi Kompas seperti Raymond Toruan dan Rb Sugiantoro dalam pesan singkat menyatakan belasungkawa. Begitu juga Bambang Sukartiono, Gunawan Setiadi dan lain-lain.

[caption caption="Teman-teman berkirim ucapan belasungkawa"]

[/caption]

 

[caption caption="Ucapan belasungkawa teman-teman lama di Redaksi Kompas"]

[/caption]

Tatkala tulisan ini disusun, pasti taksiyah sedang digelar di rumah duka di Jl Hertasning Kompleks Griya Indah Blok A11, Kecamatan Panakkukang, Makassar, Kota Makassar.

Selamat jalan, Puang Fahmi.
Selamat menghadap Sang Khalik!

 

Bintaro, 4 Oktober 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun