Saya kenal Mas Hoedi Hastowo sejak tahun 1974. Ketika itu ia masih mahasiswa. Hoedi bersama Mas Djoko (tetangga saya di Lempuyangan, Yogyakarta) menjadi Co-Asisten di Lab Fisika Fakultas Ilmu Pasti dan Alam (FIPA) UGM (Universitas GAdjah Mada). Saya bersama teman-teman dari FTP-UGM ketika itu harus menjalani praktikum Fisika dan Kimia di FIPA (sekarang Fakultas MIPA) UGM. Kami tidak pernah menyangka persahabatan yang dimulai di Laboratorium Fisika Dasar FIPA UGM itu, berkepanjangan sampai lebih dari 40 tahun.
Sekitar tahun 1975/76, Hoedi memprakarsai bimbingan belajar gratis buat para lulusan SLTA yang akan memasuki perguruan tinggi. Bimbel gratis itu dinamakan Gemini Studi Club. Hoedi dibantu oleh sejumlash aktifis mahasiswa dari berbagai fakultas di UGM, memberi bimbingan cara menjawab ujian masuk perguruan tinggi. Setelah diterima, disediakan juga bimbingan gratis (tentir) bagi para mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam menghadapi perkuliahannya. "Saya Rektor pertama bimbingan belajar gratis itu," katanya bangga.
Saya termasuk salah seorang yang ikut memberi bimbingan tentang ilmu kimia. Sejak muda, Hoedi memang hidup lurus-lurus saja. Tidak pernah neko-neko. “Dana kita kumpulkan dari para aktifis. Ada yang menyumbang kertas, ada yang menyumbang tenaga dan banyak lagi,” Hoedi mengenang masa-masa pertengahan decade 1970an, sewaktu saya berkunjung ke rumahnya di Kompleks Batan Indah, Serpong, pertengahan Juni 2015.
Sabtu (27/6) petang saya terima kabar dari Wiwied, mantan aktifis UGM yang biasa dipanggil Paimo. Katanya Mas Hoedi meninggal Sabtu sore. Beberapa mantan aktifis UGM membenarkan info tersebut. Saya batalkan rencana bermalam minggu, lalu buru-buru saya ke rumah duka. Seelumnya, sekitar pertengahan Juni, Paimo juga yang mengabari saya bahwa Hoedi baru rampung menjalani kemoterapi dan menyarankan saya mengunjunginya. Saran Paimo saya turuti, karena saya memang cukup dekat dengan Hoedi.
Setelah lulus dari UGM, saya dan Hoedi terpisah akibat kegiatan masing-masing. Hoedi menjalani karirnya di Badan Tenaga Atom Nasional di Yogyakarta. Di Jakarta, saya beberapa kali bertemu Hoedi dalam berbagai forum kumpul-kumpul mantan aktifis Yogya. Tahun 2006/2007, Hoedi berjabatan Sekretaris Menteri Riset dan Teknologi.
Kami mulai akrab kembali ketika secara tidak sengaja bertemu di tempat driving golf di Pondokcabe. Saya bersama anak saya, Ardy, ketika itu sering berlatih di Pondokcabe. Suatu ketika, saya dapati Hoedi sedang driving sewaktu saya datang. Sejak itu kami sering bertemu dan mengobrol.
Ketika berjabatan Kepala Batan, Hoedi meminta saya membantunya menyusun blueprint sosialisasi Pusat Listrik Tenaga Nuklir. Saya termasuk salah seorang yang berkeyakinan bahwa tenaga nuklir dapat dimanfaatkan secara aman, dan kekurangan listrik di Indonesia bisa dipenuhi dengan tenaga nuklir. Saya dan teman-teman menyusun konsep sosialisasi PLTN sesuai dengan permintaan Hoedi.
Hoedi adalah orang yang sangat lurus. Sebelum meminta bantuan, ia menjelaskan bahwa dana penyusunan konsep itu belum cair. Saya dan teman-teman tetap mengerjakan proyek tersebut dengan sepenuh hati, sampai akhirnya konsep sosialisasi itu disetujui oleh pimpinan negara. Konsep sosialisasi itu mulai dijalankan dan dana sosialisasinya cair, tapi tim kami sama sekali belum dibayar. Belakangan Hoedi pensiun dari jabatan Kepala Batan. Sampai saat pertemuan terakhir di pertengahan Juni 2015, saya tidak pernah menanyakan masalah dana penyusunan konsep tersebut. Saya sangat yakin, Hoedi tidak pernah berniat jelek. Mungkin uang jasa tim penyusunan konsep sosialisasi PLTN tersebut sudah ‘dikelola’ oleh staf-stafnya di Batan.
Kami mengobrol panjang lebar dalam pertemuan pertengahan Juni 2015. Hoedi menuturkan bahwa ia ditawari pengobatan yang berbiaya milyaran rupiah, tapi hal itu di luar kemampuannya. Hoedi memilih berobat di Rumah Sakit Dharmais menggunakan fasilitas BPJS. “BPJS sangat bermanfaat buat orang-orang seperti saya. Tetapi pengguna BPJS harus bersabar. Saya berangkat dari rumah sehabis sembahyang subuh, ternyata dapat nomor antrean 200 lebih,” tuturnya.
Bersyukur
Tapi Hoedi masih bersyukur karena ia berdomisili di pinggir Jakarta. “Saya lihat banyak pasien dari luar kota yang berobat di Dharmais. Sekali datang kan harus dengan 2-3 orang pendamping. Coba bayangkan berapa biaya yang harus mereka siapkan buat perjalanan dan akomodasi selama berobat di Dharmais?” katanya.
Hoedi dengan segala kesederhanaan dan kelurusannya tetap jadi panutan banyak aktifis Yogya. Ia sempat menuturkan, sangat merasa diberkahi karena berhasil menyelesaikan tugas dan jabatannya tanpa cacat. Rumahnya di pojok jalan di Kompleks Batan Indah Blok D/40, Serpong, terbilang sangat sederhana buat seorang mantan Kepala Batan.
Saya bangga menjadi teman Hoedi. Seorang ilmuwan yang sederhana, birokrat yang tidak angkuh dan pejabat yang tidak kaya. Jalannya selalu lurus. Ia tidak punya keinginan yang terlalu muluk di sisa hidupnya. “Saya hanya berusaha memperbanyak amal dan mengurangi hal-hal yang harus dikurangi,” kalimat terakhir Hoedi yang diucapkan sebelum saya pamitan.
Selamat jalan, Mas Hoedi.
Merdeka!
Bintaro, 27 Juni 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H