Dalam pelatihan coaching untuk Calon Guru Penggerak Angkatan 3 Tahun 2021, barulah saya mendapati bahwa proses coaching yang baik, bukan seperti yang selama ini kita pahami.  Tahapan yang dilakukan oleh coach sudah disusun dalam sebuah struktur berakronim TIRTA.  T adalah menyanpaikan tujuan coaching.  Tahap ini harus jelas, supaya coach dan coachee mampu melihat batasan-batasan dan lebih fokus saat bereksplorasi satu sama lain.
   I adalah Identifikasi.  Pada tahap ini, coach memberikan pertanyaan-petanyaan dan umpan balik yang mengarah pada identifikasi potensi coachee.  Ingat ya, para coach : potensi.  Jadi coach dilarang keras mencecar coachee dengan pertanyaan-pertanyaan tertutup (yang jawabannya hanya ya atau tidak) , membalik-balikkan potensi positif dengan perilaku negatif yang pernah dilakukan atau umum dilakukan.  Sama sekali tidak boleh membuat suasana menjadi tidak nyaman dengan menggeser pandangan coach merasa paling tahu, lebih tinggi atau lebih pintar. Â
   R adalah Rencana Aksi.  Pada Tahap ini, coach memberikan pertanyaan-pertanyaan dan umpan balik Mengenai rencana aksi coachee dalam menyelesaikan masalahnya.  Dalam proses ini, coach dilarang keras mendiktekan suatu Langkah, perbuatan atau upaya yang sama sekali tidak disetujui oleh coachee.  Coach juga tidak diperkenankan memberikan rekomendasi rencana aksi yang berada di luar jangkauan kemampuan coachee.  Alih-alih, coach harus bersedia berkolaborasi dengan coachee saat merencanakan aksinya.  Saya merekomendasikan coach agar menceritakan pengalamannya saat menghadapi situasi yang sama jika ada.  Pengalaman yang dibagikan harus utuh, mudah dipahami dan terbukti berhasil saat itu.  Cerita keberhasilan akan lebih menginspirasi daripada jika coach mendadak banting setir dan menjadi mentor.
   Ta adalah Tanggungjawab.  Saat penyelesaian yang didapatkan dan rencana aksi merupakan kolaborasi antara coach dengan coachee, maka akan mudah bagi keduanya untuk menetapkan komitmen.  Tanggung jawab ini berbentuk semacam timeline eksekusi pada aksi/tindakan nyata.  Coach yang baik akan memastikan coachee berada dalam situasi yang aman, terpantau keselamatan jiwa dan raganya selama menjalankan tanggung jawab aksinya.
   Keseluruhan tahap coaching, harus dibungkus dengan suasana yang nyaman, bebas dan jauh dari rasa takut, tertekan atau emosi negatif yang lain.  Coach benar-benar ditantang untuk menguasai kompetensi sosial dan emosional menyeluruh, Mulai dari kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial, keterampilan relasi dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.  Jika proses ini berhasil, maka guru telah memenuhi perannya mewujudkan kepemimpinan siswa.  Kepemimpinan pada diri sendiri tentunya. Â
   Saat guru mempedulikan dan memetakannya dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dengan aneka diferennsiasi baik konten, proses atau produk sesuai dengan kondisi, minat, bakat dan "pesanan" muridnya, maka guru Sudah dapat dikatakan sebagai pemimpin pembelajaran yang berpihak kepada murid.  Kita bisa melihat koneksi yang jelas antara materi Pembelajaran Sesuai Murid, Kompetensi Sosial Emosional dan Keterampilan Coaching ini membentuk sebuah kesinambungan yang tak terpisahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H