Coaching, Mentoring dan Konseling, Apa Bedanya?
   Coaching, berasal dari kata coach (pelatih) adalah sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi.  Orientasi prosees ini adalah pada hasil yang sistematis, dimana coach dapat memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup pembelajaran diri dan pertumbuhan pribadi coachee (orang yang sedang dilatihnya) (Grant, 1999).  Coaching juga merupakan kunci yang membuka potensi seseorang untuk memaksimalkan kinerjanya.  Proses coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya (Whitmore, 2003).
   Hal inilah yang membedakan coaching dengan mentoring atau konseling.  Mentoring adalah suatu proses dimana guru, pelindung atau pembimbing yang bijak dan penolong, menggunakan pengalamannya untuk membantu seseorang dalam mengatasi kesulitan dan mencegah bahaya (Stone, 2002).  Sedangkan konseling adalah hubungan antara konselor (orang yang membimbing proses konseling) yang lebih mengarah pada perkembangan jiwa klien.  Konselor secara profesional akan mengarahkan klien ke dalam tahapan-tahapan penyelesaian masalah, setelah terlebih dahulu melakukan eksplorasi terhadap klien secara mendalam.
Guru Harus Belajar Tehnik Coaching
   Sebagai guru, kita dituntut untuk memiliki keterampilan berganti-ganti peran, sesuai dengan keadaan siswa yang sedang kita hadapi.  Ya, seorang guru harus mahir untuk menjalankan fungsi mentor, konselor atau coaching dalam berbagai situasi penyelesaian masalah.  Coaching, Jika dibuat dalam tingkatan kompleksitas, menempati urutan teratas.  Di dalam coaching, terkandung sedikit proses mentoring, konseling dan sisanya adalah kolaborasi.  Artinya, langkah-langkah penyelesaian yang terjadi sepenuhnya berasal dari coachee.  Coach sama sekali tidak diperkenankan mendikte apalagi memaksakan sebuah solusi terhadap coachee. Â
   Seorang coach, sepenuhnya harus memiliki Kompetensi Sosial Emosional yang baik.  Coach, dalam hal ini adalah guru dituntut menjadi seorang pamong (penuntun) yang memberi tuntunan dan memberdayakan potensi yang ada, agar murid tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya.  Untuk mampu menjadi pamong yang baik, seorang guru harus memiliki komunikasi yang baik Â
dengan siswanya. Â Pendekatan komunikasi dalam proses coaching merupakan suatu dialog yang terjadi secara emansipatif dalam ruang perjumpaan yang penuh kasih sayang dan persaudaraan. Â Disinilah terjadi peran seorang Guru Penggerak yaitu mewujudkan kepemimpinan murid dengan nilai berpihak kepada (kebutuhan) murid.
   Pada koneksinya dengan menciptakan pembelajaran yang memperhatikan kebutuhan murid, proses coaching menjadi sebuah poin penentu. Di dalamnya akan didapatkan pemetaan yang jelas terhadap keinginan, harapan, bakat, minat dan potensinya.  Hal-hal inilah yang akan memberikan petunjuk berharga bagi guru dalam menciptakan berbagai diferensiasi dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang akan disusunnya, sehingga mampu mengakomodir kemampuan dan potensi pembelajaran yang dimiliki murid-muridnya.
   Dalam coaching, melalui pertanyaan-pertanyaan eksploratif di tahap Identifikasi, maka bukan hanya guru, siswa juga mempelajari dirinya sendiri dan mengidentifikasi potensi-potensi lain yang dimilikinya.  Guru yang sedang berperan sebagai coach, harus  menyediakan telinganya untuk "hearing" sekaligus hatinya untuk "listening". Tidak hanya mendengar secara harfiah namun juga secara makna.  Guru dengan Kompetensi Sosial Emosionalnya, mampu mengelola Konsep Keterampilan Sosial membangun relasi yang positif dan bertahan lama.
Salah Paham Coaching dan Bagaimana yang Seharusnya
   Praktek coaching selama ini dipahami sebagai sebuah rangkaian latihan yang terlihat mengikat, jelas dan memaksa (misalnya dalam kegiatan olahraga).  Kita juga terlanjur mengidentikkan coaching dengan gaya seorang coach yang tegas, disiplin dan "keras".  Gambaran ini rupanya melekat di pikiran kebanyakan orang.  Sehingga saat mendengar kata coaching, maka yang terbayang adalah seorang guru yang Sedang memberikan instruksi, mengawasi dan melihat dengan teliti, terkadang diiringi isak tangis lirih atau wajah yang tertekan.
   Dalam pelatihan coaching untuk Calon Guru Penggerak Angkatan 3 Tahun 2021, barulah saya mendapati bahwa proses coaching yang baik, bukan seperti yang selama ini kita pahami.  Tahapan yang dilakukan oleh coach sudah disusun dalam sebuah struktur berakronim TIRTA.  T adalah menyanpaikan tujuan coaching.  Tahap ini harus jelas, supaya coach dan coachee mampu melihat batasan-batasan dan lebih fokus saat bereksplorasi satu sama lain.
   I adalah Identifikasi.  Pada tahap ini, coach memberikan pertanyaan-petanyaan dan umpan balik yang mengarah pada identifikasi potensi coachee.  Ingat ya, para coach : potensi.  Jadi coach dilarang keras mencecar coachee dengan pertanyaan-pertanyaan tertutup (yang jawabannya hanya ya atau tidak) , membalik-balikkan potensi positif dengan perilaku negatif yang pernah dilakukan atau umum dilakukan.  Sama sekali tidak boleh membuat suasana menjadi tidak nyaman dengan menggeser pandangan coach merasa paling tahu, lebih tinggi atau lebih pintar. Â
   R adalah Rencana Aksi.  Pada Tahap ini, coach memberikan pertanyaan-pertanyaan dan umpan balik Mengenai rencana aksi coachee dalam menyelesaikan masalahnya.  Dalam proses ini, coach dilarang keras mendiktekan suatu Langkah, perbuatan atau upaya yang sama sekali tidak disetujui oleh coachee.  Coach juga tidak diperkenankan memberikan rekomendasi rencana aksi yang berada di luar jangkauan kemampuan coachee.  Alih-alih, coach harus bersedia berkolaborasi dengan coachee saat merencanakan aksinya.  Saya merekomendasikan coach agar menceritakan pengalamannya saat menghadapi situasi yang sama jika ada.  Pengalaman yang dibagikan harus utuh, mudah dipahami dan terbukti berhasil saat itu.  Cerita keberhasilan akan lebih menginspirasi daripada jika coach mendadak banting setir dan menjadi mentor.
   Ta adalah Tanggungjawab.  Saat penyelesaian yang didapatkan dan rencana aksi merupakan kolaborasi antara coach dengan coachee, maka akan mudah bagi keduanya untuk menetapkan komitmen.  Tanggung jawab ini berbentuk semacam timeline eksekusi pada aksi/tindakan nyata.  Coach yang baik akan memastikan coachee berada dalam situasi yang aman, terpantau keselamatan jiwa dan raganya selama menjalankan tanggung jawab aksinya.
   Keseluruhan tahap coaching, harus dibungkus dengan suasana yang nyaman, bebas dan jauh dari rasa takut, tertekan atau emosi negatif yang lain.  Coach benar-benar ditantang untuk menguasai kompetensi sosial dan emosional menyeluruh, Mulai dari kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial, keterampilan relasi dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.  Jika proses ini berhasil, maka guru telah memenuhi perannya mewujudkan kepemimpinan siswa.  Kepemimpinan pada diri sendiri tentunya. Â
   Saat guru mempedulikan dan memetakannya dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dengan aneka diferennsiasi baik konten, proses atau produk sesuai dengan kondisi, minat, bakat dan "pesanan" muridnya, maka guru Sudah dapat dikatakan sebagai pemimpin pembelajaran yang berpihak kepada murid.  Kita bisa melihat koneksi yang jelas antara materi Pembelajaran Sesuai Murid, Kompetensi Sosial Emosional dan Keterampilan Coaching ini membentuk sebuah kesinambungan yang tak terpisahkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI