Namun hari ini, dengan hati yang sangat berat, saya harus mengakui bahwa ternyata sebagian dari para ibu, suka tidak suka, sengaja tidak sengaja, memang menjadi salah satu penyebab mewabahnya budaya caci maki di kalangan anak-anak muda, yaitu anak-anak mereka sendiri. Kita benar-benar sedang mengalami krisis keteladanan pada level terkecil dalam struktur masyarakat, yaitu keluarga. Jika tidak segera dicarikan solusinya, kehancuran negara akan segera terpampang nyata. Negara kita ada secara konstitusi, namun kita sebagai bangsa akan segera lenyap.
Hal yang harus diingat di jaman yang serba terekam, jaman segala hal selalu diskrinsyut adalah, makian kita terhadap seseorang, baik secara fisik atau non fisik, akan abadi dan dapat dilihat berulangkali bahkan saat sudah dihapus.Â
Banyak teknologi yang memungkinkan rekaman itu dibuka kapan saja, di mana saja dan oleh siapa saja. Sudah banyak cerita tentang kegagalan seorang anak muda menembus seleksi sebuah pekerjaan bergengsi karena HRD menelusuri time line dan riwayat aksinya di sosial media. Tentu ibu manapun, tidak akan sanggup apabila anak-anaknya mendapatkan kemalangan seperti itu.
Pepatah tua itu kembali terngiang di ruang pemikiran saya. Seindah itulah para orang tua bijak nan sabar memberikan wasiat. Sebuah pelajaran yang berumur puluhan bahkan ratusan tahun, namun nilainya tak akan pernah usang.Â
Sebuah mutiara pembelajaran karakter yang seharusnya kita gali dari timbunan lumpur hitam dan berbaunya sampah peradaban modern yang cenderung kapitalistik, materialis dan jauh dari sikap manusia sejati.Â
Serba cepat tapi tidak diimbangi kematangan dan tanggung jawab. Kita seharusnya tidak perlu belajar jauh-jauh atau berkiblat kemanapun, karena nilai-nilai pembelajaran yang diabadikan oleh para orang tua kita dahulu, tinggal menunggu waktu saja untuk ditemukan kembali dan berkilau abadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H