Aku berjalan tanpa memikirkan apapun.  Bahkan aku tidak tahu sudah pukul berapa saat itu.  Gelap dan terang seperti sudah terasa sama saja bagiku.  Kubawa buli-buli itu berjalan.Â
   Sekian lama, aku merasa jauh.  "Kok rumahku belum kelihatan?' pikirku.  "Eh, pasar sudah buka nih", batinku sambil mengelilingi pedagang-pedagang di pasar Pujasera yang aku lewati.Â
"Ini kok pasarnya panjang sekali ya, yang jualan seperti tidak habis-habis".
Semua mengajakku mengobrol, menawarkan dagangan. Â Mereka ramah dan tersenyum setiap aku bertanya kemana arah Timur, tempat rumahku berada jika keluar dari RSUD Ciereng.
"Sebelah sana, bu", "Sebelah sana lagi", begitu terus. Â Hingga aku terus berputar-putar. Â "Mereka kenapa pada pucat ya wajahnya? Â Mungkin karena pasar malam, jadi mukanya mengkilat kena lampu", pikirku.
   Sekelebat aku melihat rambut hitam yang panjang, mata merah menyala dan gigi hitam menyeringai.  Aku menjerit, tapi suaraku tertahan di kerongkongan.  Sesaat bukan suaraku yang terdengar melainkan suara adzan.Â
    Seketika pasar itu bubar,  gelap gulita.  Setelah kunang-kunang di mataku lenyap, ku dekap buli-buli bayi ke dadaku sambil melihat sekeliling.  Adzan Subuh dan aku dikelilingi batu-batu nisan, lengkap dengan pohon-pohon kamboja besar dan beringin tua.  Aku berada di Dunguswiru, komplek pemakaman umum terbesar, tertua dan paling angker di Subang.Â
"Bagaimana aku bisa semalaman ada di sini?" pikirku.
Buli-buli bayi baru lahir itu manis dan harum. Â Makhluk halus sangat menyukainya.Â
*buli-buli = ari-ari atau plasenta
Based on true story.