Namaku Ani. Â Aku adalah seorang wanita serba kekurangan yang hidup di sebuah gang sempit padat penduduk di kota Subang. Â Suamiku kerja serabutan, kadang dia pulang membawa penghasilan, lebih seringnya dia hanya pulang membawa kelelahan. Â Sudah lama kehidupan serba prihatin ini aku jalani, dan terasa sudah sangat biasa.
   Aku hanya lulusan Sekolah Dasar.  Untuk berjuang supaya keluarga kami tetap tegak berdiri, aku bekerja apa saja.  Buruh cuci, sampai akhirnya sudah banyak rumah yang mempunyai mesin cuci.  Buruh setrika, aku berdoa semoga mesin penghalus pakaian tidak segera ditemukan.  Sampai profesiku yang terakhir yaitu tukang pijat bagi anak-anak dan ibu hamil.  Saking seringnya memijat ibu hamil, akhirnya aku sekalian saja menolongnya sewaktu melahirkan.Â
   Aku tidak pernah mengenyam pendidikan kebidanan. Gelarku juga bukan S. Keb. Seperti bidan-bidan yang buka praktek pakai plang papan nama di rumahnya itu.  Aku cuma bidan partikeliran yang menolong sesama wanita melewati perjuangan perihnya berada di antara hidup dan mati dalam proses meloloskan kepala bayi.  Semua aku jalankan dengan insting, naluri.  Naluri alamiah seorang perempuan.
   Saat seorang wanita yang aku tolong, melolong kesakitan pada pembukaan-pembukaan terakhir, aku juga seperti merasakan sembilu itu merobek kulitku. Â
Aku perlakukan mereka selembut mungkin. Â Tak ada perintah, tak ada bentakan atau instruksi. Â Aku selalu membiarkan naluri kewanitaan menuntun mereka menunaikan tugas alamiah itu. Â Semuanya berhasil. Â Dengan kondisi yang tenang dan percaya diri, komplikasi pada ibu melahirkan hampir tidak ada.Â
   Keterampilanku mengasuh dan mengantar ibu melahirkan, membiarkan mereka dengan kelembutan membidani diri mereka sendiri akhirnya membuatku kebanjiran order.  Hampir setiap hari, tidak peduli siang atau tengah malam buta ada saja yang menggedor pintu rumahku untuk menemani putri,menantu,istri,ibu atau saudari mereka melahirkan.  Aku pun sudah mempersiapkan diri dengan sebuntal tas kain berisi peralatan tempur.  Handuk, kain panjang, gunting, pisau, alhohol, perban, kain kasa, plester sampai setagen dan termos air panas kecil.  Dan tak lupa ramuan minyak kelapa asli yang kucampur dengan bunga dan rempah wangi sebagai sarana pijat dan aromaterapi.
    Pada hari itu, aku ingat persis.  Kamis sore menjelang malam Jumat aku baru saja pulang setelah seharian menunggui dan menolong kelahiran seorang putri pejabat yang sangat manja.  Gedoran pintu terdengar menjelang maghrib.  Bak pemadam kebakaran, aku terperanjat dan sigap memenuhi panggilan.  Aneh, ini bukan di rumah pribadi, tapi di rumah sakit.  Pasienku ini rupanya sudah menahan sakit selama tiga hari tiga malam dan ingin melahirkan bersamaku, meski sekarang dia berada di bawah pengawasan medis.
   Petang membayang dan aku melangkahkan kaki ke rumah sakit tertua dan terbesar di Subang, RSUD Ciereng.  Bangunan bekas peninggalan kolonial dengan pelataran luas, pohon-pohon besar tanpa lampu taman. Ngeri, merinding.  Tapi aku tak sempat manafsirkan apapun, segera setelah kudengar jeritan memilukan seorang ibu dengan pembukaan tujuh yang tidak maju-maju.
   Akhirnya dengan kesabaran, perjuangan dan naluri alamiah dan tak lupa lantunan do'a, jabang bayi lahir dengan selamat tanpa operasi sesar.
"Bu, tolong bawa buli-buli anak saya pulang ya. Â Dokter belum mengijinkan saya pergi. Â Terimakasih sekali lagi. Â Ibu menyelamatkan nyawa saya", kata sang ibu baru sambil tersenyum lega. Â Aku mengangguk sambil membalas senyumannya dan membereskan semua bekas huru-hara. Â Kukemas buli-buli bayi ke dalam tempayan dan aku pun pamit pulang.
   Aku berjalan tanpa memikirkan apapun.  Bahkan aku tidak tahu sudah pukul berapa saat itu.  Gelap dan terang seperti sudah terasa sama saja bagiku.  Kubawa buli-buli itu berjalan.Â
   Sekian lama, aku merasa jauh.  "Kok rumahku belum kelihatan?' pikirku.  "Eh, pasar sudah buka nih", batinku sambil mengelilingi pedagang-pedagang di pasar Pujasera yang aku lewati.Â
"Ini kok pasarnya panjang sekali ya, yang jualan seperti tidak habis-habis".
Semua mengajakku mengobrol, menawarkan dagangan. Â Mereka ramah dan tersenyum setiap aku bertanya kemana arah Timur, tempat rumahku berada jika keluar dari RSUD Ciereng.
"Sebelah sana, bu", "Sebelah sana lagi", begitu terus. Â Hingga aku terus berputar-putar. Â "Mereka kenapa pada pucat ya wajahnya? Â Mungkin karena pasar malam, jadi mukanya mengkilat kena lampu", pikirku.
   Sekelebat aku melihat rambut hitam yang panjang, mata merah menyala dan gigi hitam menyeringai.  Aku menjerit, tapi suaraku tertahan di kerongkongan.  Sesaat bukan suaraku yang terdengar melainkan suara adzan.Â
    Seketika pasar itu bubar,  gelap gulita.  Setelah kunang-kunang di mataku lenyap, ku dekap buli-buli bayi ke dadaku sambil melihat sekeliling.  Adzan Subuh dan aku dikelilingi batu-batu nisan, lengkap dengan pohon-pohon kamboja besar dan beringin tua.  Aku berada di Dunguswiru, komplek pemakaman umum terbesar, tertua dan paling angker di Subang.Â
"Bagaimana aku bisa semalaman ada di sini?" pikirku.
Buli-buli bayi baru lahir itu manis dan harum. Â Makhluk halus sangat menyukainya.Â
*buli-buli = ari-ari atau plasenta
Based on true story.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H