Namun, toh harus dikatakan juga, bahwa meski tentang lahirnya suatu postingan bisa dibaca melalui riset ilmiah, prosesnya itu sendiri tetap tidak jauh dari ajang pamer dan pansos. Bahkan, saya kira, itulah tujuan sang tukang posting.
Sebuah Koreksi
Tulisan diatas agak sok tahu, kalimat "ketika jurnalisme dibungkam, media sosial harus bicara, karena bila jurnalisme bicara tentang kepentingan, media sosial bicara dengan kekinian".Â
Rupa-rupanya saya memang sangat bodoh, baru beberapa detik lalu  saya menyadari pernyataan itu sangat lemah, seolah-olah saya tahu apa itu kebenaran.
Kebenaran bukan milik orang per orang, kelompok dan golongan tertentu. Jurnalisme dan postingan di media sosial tidak relevan untuk mewakili kebenaran. Setiap kata dan kalimat barangkali saja dikonstruksi agar bisa dianggap menjadi kebenaran.
Tapi sejatinya, yang harus muncul adalah semangat perlawanan terhadap pembungkaman dan ketidakadilan, baik melalui media massa maupun media sosial.Â
Memang, kedua-duanya berfungsi bak bermata dua. Disatu sisi sebagai media menyampaikan informasi, disisi lain justru menyebarkan kebencian dan fitnah.Â
Apa yang kita kenal sebagai arab spring yang dimulai di Mesir adalah perlawanan melawan rezim otoriter korup melalui Facebook dan Twitter.Â
Gerakan ini mewabah hingga Tunisia, Libya dan negara Timur Tengah lainnya. Bahkan saat ini, Hongkong berhadapan dengan massa demonstran yang menggalang kekuatan melalui media sosial.
Indonesia bagaimana?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H