Hajatan demokrasi lokal jilid II baru saja berlalu (15/2) masyarakat telah menentukan pemimpin sebagai nahkoda penyelenggaraan pemerintahan lima tahun kedepan. Dari sekian banyak calon kepala daerah yang bertarung ternyata incumbent masih mendominasi bursa pencalonan. Alhasil incumbent masih kokoh di puncak kekuasaan, dan nasib sial menghampiri calon incumbent di beberapa daerah yang harus tumbang dari kursi kekuasaan alias kalah dalam pertarungan.
Incumbent harus di maknai sebagai pencalonan pada periode kedua dalam jabatan yang sementara dijabat, atau orang yang sementara berkuasa dan kembali mengikuti kontestasi untuk perebutan posisi yang sama, dan para kandidat yang masih memiliki hubungan persaudaraan dengan kepala daerah sebelumnya (petahana).
Jika mencermati dinamika incumbent-petahana dalam dinamika pilkada maka trend untuk kembali berkuasa mengalami peningkatan. Banyak calon incumbent-petahana yang memenangkan pilkada semenjak 2005, 2010 dan 2015.
Sebanyak 269 pilkada pada Desember 2015 yang terdiri dari 224 Kab, 36 kota dan 9 Provinsi, lebih banyak dimenangkan oleh calon incumbent dengan perbandingan kalah 42, 1 % dan menang 57, 9%. Sedangkan presentasi kemenangan petahana Walikota 47,1 % dan Bupati 28,1%. (baca ; kompas)
Pilkada 2017 sebagaimana data Kementerian Dalam Negeri terdapat 328 paslon yang berlaga di 101 daerah. 328 paslon terdiri dari 25 di provinsi, 246 di kabupaten, dan 57 di kota. Di antara 328 paslon, 104 adalah petahana yang terdiri dari 10 orang di provinsi, 70 di kabupaten, dan 24 di kota. Dengan demikian petahana-incumbent masih mendominasi bursa pencalonan dan menang dalam pilkada serentak jilid II.
Kemenangan incumbent menegaskan kepada publik bahwa tidak mudah mengalahkan mereka. “Incumbent berprestasi” dengan sejumlah keberhasilan pada periode pertama dengan mudah memenangkan pertarungan tanpa mencederai prinsip-prinsip demokrasi, sedangkan “incumbent bermasalah” (krisis prestasi, terjerat kasus korupsi, mengedepankan politik dinasti-politik kekerabatan) terseok-seok dalam suksesi periode kedua.
Incumbent bermasalah dalam perjalanan politiknya tidak berjalan mulus, bersih, dan jujur. Berbagai cara (jurus ruci) digerakan untuk mencapai syahwat berkuasa, dengan melakukan politik kekerasan, politik intimidasi, politisasi birokrasi, politisasi penyelenggara pemilu dan bahkan politik uang.
Incumbent dan Politik Dinasti
Terpiihnya kembali “incumbent bermasalah” berdampak langsung terhadap praktik dinasti Politik. Setelah menjabat sebagai penguasa di tingkat daerah membuat elit politik berkeinginan menguasai jabatan lebih lama lagi, dengan cara mencalonkan sanak keluarga sebagai kepala daerah. Investasi berupa modal ekonomi, politik, dan mobilisasi masa membuat elit kekerabatan sangat mudah mengendalikan kekuasaan dan mengambil simpati rakyat. Dinasti politik tidak hanya semata-mata karena status sosial melainkan untuk pengamanan kepentingan ekonomi politik para elit.
Mendistribusikan keluarga-kerabat dekat menempati posisi strategis di birokrasi, partai politik, DPRD dan kepala daerah di beberapa kab/kota dalam satu provinsi. Jangan heran jika orang tuanya Gubernur, maka anak-anak, saudara, dan kerabat menjadi Walikota/Bupati. Jika Bapaknya menjabat Walikota/Bupati maka yang disiapkan menggantikan jabatan adalah istri/anak-anak/saudara kandung.
Terdapat dinasti politik dari tingkat propinsi dan beberapa kabupaten dikuasai satu keluarga bahkan di satu kabupaten dikuasai oleh dua keluarga kurang lebih 10 s/d 15 tahun. Sebagaimana dinasti politik keluarga Ratu Atut Chosiyah di Banten dan Keluarga Sri Hartati di Klaten.
Praktik dinasti elit politik atau biasa dikenal dengan oligarki elit politik/kekuasaan berawal dari kemenangan kepala daerah dua periode. Setelah menjabat kepala daerah dan pemerintahan mereka cenderung menyiapkan calon kepala daerah berikutnya yang memiliki hubungan darah dan perkawinan. Sehingga kekuasaan hanya terpusat dalam satu lingkaran elit politik yang mudah di kendalikan.
Terpilihnya kembali para elit dinasti politik menandakan bahwa rakyat belum sepenuhnya menyadari pentingnya pilkada, sirkulasi elit dan berpemerintahan. Kesadaran rakyat masih bertumpu pada politik transaksional, siapa memberikan apa dan mendapatkan apa? Belum memaknai pilkada sebagai momentum strategis yang menentukan nasib masyarakat dan daerahnya.
Perjalanan pilkada dalam rezim desentralisasi telah banyak menghasilkan kepala daerah yang terjerat kasus korupsi-suap, kebanyakan dari mereka adalah incumbent dan politik dinasti. (Baca ; KPK). Dengan demikian, sudah saatnya politik dinasti yang tumbuh dan berkembang pesat di tanah air menjadi perhatian serius dari publik. Jika hal ini tidak dilakukan maka pilkada yang dibiayai dari uang rakyat akan menghasilkan kepala daerah bermasalah dan minim prestasi yang tidak lain adalah hasil dari mesin produksi politik dinasti-kekerabatan.
Menurut Dewi Masyita (2015), dalam konteks dinasti politik cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Senada dengan itu Putnam (dalam Sujarwoto,2015) menjelaskan bahaya dinasti politik yang memperluas penyakit birokrasi seperti Favoritisme atau patronasi, kroniisme dan nepotisme. Sujarwoto, berpandangan berkembangnya dinasti politik akan tumbuh subur di dalam kabupaten/kota yang tingkat korupsinya tinggi, tidak dewasa dalam berdemokrasi, birokrasinya tidak memiliki kompetensi untuk mengelola anggaran lebih baik serta tingkat partisipasinya masyarakat dalam pembangunan yang rendah.
Jika dinasti politik dalam pemilukada berkembang dengan pesat maka berdampak langsung terhadap kualitas demokrasi. Impian bersama konsolidasi demokrasi perlahan-lahan mengalami kemunduran dengan lahirnya pemimpin tanpa etika dan moralitas politik. Selain itu, praktik politik dinasti akan menambah daftar hitam kemunduran tatakelola pemerintahan. Pemerintahan yang korup, tidak transparan, akuntabel, dan partisipatif. Mengabaikan prinsip merit sistem dan Good Governance, dan lebih memilih membangun sistem yang berdasarkan hubungan kekerabatan.
Pendidikan Politik dan Regulasi
Pendidikan politik menjadi bagian yang sangat penting dalam perjalanan pemilihan kepala daerah. Masyarakat tercerahkan dengan nilai-nilai politik, kepemimpinan, dan sikap kritis dalam menentukan pilihan. Tidak menggantungkan harapan pada praktik politik transaksional yang merusak mentalitas dan konflik ditingkat masyarakat. Politik uang menghilangkan kohesi sosial yang selama ini sebagai sistim nilai.
Untuk itu pendidikan politik sebagai bentuk nyata membangun perilaku pemilih dan budaya politik yang mengedepankan politik nilai dalam menentukan pemimpin. Tingkah laku politik pemilih yang kritis, tidak berkompromi dengan uang, dan jujur dalam menentukan sikap politik sebagai langkah kongkrit menghentikan gerak langkah dinasti politik.
Kesadaran kritis, membuat masyarakat tidak memilih elit dinasti di setiap momentum politik, tidak memberikan ruang untuk kembali berkusa di lembaga eksekutif dan legislatif. Rakyat semakin cerdas dalam menyeleksi dan menjatuhkan pilihan pada pemimpin yang berprestasi dan memiliki komitmen melakukan reformasi birokrasi. Tidak lagi memilih pemimpin yang mengandalkan hubungan kekerabatan.
Pendidikan politik menjadi penting untuk menyelamatkan masa depan demokrasi dengan membangun kesadaran kritis dan sikap perlawanan di kalangan masyarakat (pemilih). Jika proses ini dilakukan secara kontinyu dan terencana maka dengan sendirinya berdampak langsung terhadap meredupnya eksistensi dinasti politik.
Peran civil society sangat dibutuhkan dalam mengawal proses demokrasi, dan penyelenggaraan pemerintahan. Mendorong transparansi dan akuntabilitas elit politik dinasti dalam menggelola birokrasi sehingga tidak terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme. Menggabungkan gerakan moral dan gerakan politik sebagai kekuatan utama civil society mengawal politik dinasti. Selama ini, kepemimpinan dinasti cenderung tertutup dan jauh dari kontrol masyarakat. Eksistensi civil society di tingkat daerah menjadi bagian dari mewujudkan pemerintahan demokratis dan adil, serta membuka ruang partisipasi setiap warga negara.
Menurut Sunyoto Usman, gerakan moral dengan menekankan diri pada kegiatan pembelaan, sehingga masyarakat terhindar dari segala bentuk penindasan... dan gerakan politik dengan strategi perjuangannya adalah menciptakan aksi protes, memobilisasi dukungan masyarakat dan mencampuri urusan kekuasaan. Posisi yang dikembangkan bukan lagi sebagai broker, tetapi sebagai aktor politik. Peran civil society menjadi benteng terakhir perjuangan menempatkan rakyat sebagai kekuatan utama membangun gerakan demokrasi, perlawanan terhadap ketidakadilan dan mengambil bagian dalam proses penentuan kebijakan.
Kegagalan kepemimpinan dinasti politik menjadi catatan penting Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) untuk kembali melakukan evaluasi dan pengaturan dengan regulasi yang beru. Melakukan revisi terhadap regulasi yang telah ada, dan bahkan larangan politik dinasti (politik oligarki-politik kekerabatan) tidak sebatas pada UU Pemilihan Kepala Daerah, tetapi penting diatur dalam UU Pemerintahan Daerah, UU Partai Politik, dan UU Pemilihan Umum legislatif (DPRD, DPR, DPD). Hal ini dilakukan untuk menghindari pengendaliaan penuh (satu /dua keluarga) di lembaga eksekutif, legilastif, dan partai politik.
Kehadiran regulasi yang mengatur secara menyeluruh memberikan kesempatan semua warga berpartisipasi sebagai peserta demokrasi lokal, menjadi wakil rakyat, dan pimpinan partai politik. Ruang untuk menghasilkan pemimpin yang visioner serta transformatif hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi ruang gerak dinasti politik dan menumbuhkan budaya politik pemilih yang kritis dan rasional. Semoga, perjalanan pilkada serentak pada periode berikutnya tidak lagi didominasi oleh elit dinasti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H