Mohon tunggu...
Mansyur Djamal
Mansyur Djamal Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada, Incumbent dan Dinasti Politik

23 Februari 2017   11:38 Diperbarui: 23 Februari 2017   11:53 2075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Praktik dinasti elit politik atau biasa dikenal dengan oligarki elit politik/kekuasaan berawal dari kemenangan kepala daerah dua periode. Setelah menjabat kepala daerah dan pemerintahan mereka cenderung menyiapkan calon kepala daerah berikutnya yang memiliki hubungan darah dan perkawinan. Sehingga kekuasaan hanya terpusat dalam satu lingkaran elit politik yang mudah di kendalikan.      

Terpilihnya kembali para elit dinasti politik menandakan bahwa rakyat belum sepenuhnya menyadari pentingnya pilkada, sirkulasi elit dan berpemerintahan. Kesadaran rakyat masih bertumpu pada politik transaksional, siapa memberikan apa dan mendapatkan apa? Belum memaknai pilkada sebagai momentum strategis yang menentukan nasib masyarakat dan daerahnya.

Perjalanan pilkada dalam rezim desentralisasi telah banyak menghasilkan kepala daerah  yang terjerat kasus korupsi-suap, kebanyakan dari mereka adalah incumbent dan politik dinasti. (Baca ; KPK). Dengan demikian, sudah saatnya politik dinasti yang tumbuh dan berkembang pesat di tanah air menjadi perhatian serius dari publik. Jika hal ini tidak dilakukan maka pilkada yang dibiayai dari uang rakyat akan menghasilkan kepala daerah bermasalah dan minim prestasi yang tidak lain adalah hasil dari mesin produksi politik dinasti-kekerabatan.

Menurut Dewi Masyita (2015), dalam konteks dinasti politik cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Senada dengan itu Putnam (dalam Sujarwoto,2015) menjelaskan bahaya dinasti politik yang memperluas penyakit birokrasi seperti Favoritisme atau patronasi, kroniisme dan nepotisme. Sujarwoto, berpandangan berkembangnya dinasti politik akan tumbuh subur di dalam kabupaten/kota yang tingkat korupsinya tinggi, tidak dewasa dalam berdemokrasi, birokrasinya tidak memiliki kompetensi untuk mengelola anggaran lebih baik serta tingkat partisipasinya masyarakat dalam pembangunan yang rendah.        

Jika dinasti politik dalam pemilukada berkembang dengan pesat maka berdampak langsung terhadap kualitas demokrasi. Impian bersama konsolidasi demokrasi perlahan-lahan mengalami kemunduran dengan lahirnya pemimpin tanpa etika dan moralitas politik. Selain itu, praktik politik dinasti akan menambah daftar hitam kemunduran tatakelola pemerintahan. Pemerintahan yang korup, tidak transparan, akuntabel, dan partisipatif. Mengabaikan prinsip merit sistem dan Good Governance, dan lebih memilih membangun sistem yang berdasarkan hubungan kekerabatan.

Pendidikan Politik dan Regulasi

Pendidikan politik menjadi bagian yang sangat penting dalam perjalanan pemilihan kepala daerah. Masyarakat tercerahkan dengan nilai-nilai politik, kepemimpinan, dan sikap kritis dalam menentukan pilihan. Tidak menggantungkan harapan pada praktik politik transaksional yang merusak mentalitas dan konflik ditingkat masyarakat. Politik uang menghilangkan kohesi sosial yang selama ini sebagai sistim nilai.     

Untuk itu pendidikan politik sebagai bentuk nyata membangun perilaku pemilih dan budaya politik yang mengedepankan politik nilai dalam menentukan pemimpin. Tingkah laku politik pemilih yang kritis, tidak berkompromi dengan uang, dan jujur dalam menentukan sikap politik sebagai langkah kongkrit menghentikan gerak langkah dinasti politik.

Kesadaran kritis, membuat masyarakat tidak memilih elit dinasti di setiap momentum politik, tidak memberikan ruang untuk kembali berkusa di lembaga eksekutif dan legislatif. Rakyat semakin cerdas dalam menyeleksi dan menjatuhkan pilihan pada pemimpin yang berprestasi dan memiliki komitmen melakukan reformasi birokrasi. Tidak lagi memilih pemimpin yang mengandalkan hubungan kekerabatan.      

Pendidikan politik menjadi penting untuk menyelamatkan masa depan demokrasi dengan membangun kesadaran kritis dan sikap perlawanan di kalangan masyarakat (pemilih). Jika proses ini dilakukan secara kontinyu dan terencana maka dengan sendirinya berdampak langsung terhadap meredupnya eksistensi dinasti politik.

Peran civil society sangat dibutuhkan dalam mengawal proses demokrasi, dan penyelenggaraan pemerintahan. Mendorong transparansi dan akuntabilitas elit politik dinasti dalam menggelola birokrasi sehingga tidak terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme. Menggabungkan gerakan moral dan gerakan politik sebagai kekuatan utama civil society mengawal politik dinasti. Selama ini, kepemimpinan dinasti  cenderung tertutup dan jauh dari kontrol masyarakat. Eksistensi civil society di tingkat daerah menjadi bagian dari mewujudkan pemerintahan demokratis dan adil, serta membuka ruang partisipasi setiap warga negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun