"Iya, tentu ada...dia tidak mungkin mondar-mandir di sini...," sahutnya polos.
Merma'id tak ambil pusing. Ia melangkah cepat ke arah kasir. Kepalanya sempat dilintasi pertanyaan, "Apakah benar ada tikus pintar?"
***
"Sudah kau dapat racun itu? Cepat kau sebarkan di belakang ya...aku sudah muak dengan tikus-tikus itu," ujar Pak Bos pemilik toko roti dengan nada geram.
Merma'id adalah seorang pegawai yang bekerja di toko roti berseberangan dengan toko kelontong agak moderen. Rupanya tempat usaha di seputaran jalan itu mengeluhkan hal yang sama. Tikus banyak berkeliaran. Mungkin sedang musim beranak. Atau migrasi dari selokan besar dekat pasar.
Merma'id sebenarnya sudah bosan menghadapi tikus-tikus itu. Sudah berbagai cara dilakukannya. Semuanya atas perintah Pak Bos.
Mulai dari memasang perangkap, lem, hingga menyebar tiga ekor kucing. Semuanya tidak berhasil mengusir kawanan tikus itu. Bahkan setelah berapa lama, tikus-tikus justru berhasil menjalin persahabatan dengan ketiga kucingnya.
Merma'id sempat merasa ditelikung. Bagaimana tidak, setiap ada tikus, mereka justru main mata. Kucing tidak mengejar. Seakan kena suap. Dan terkadang mengedip dua kali seperti menunjukkan kalau sang kucing menyukai tikus.
Bahkan saking takutnya, Ibu Bos, sang majikan perempuan sudah beberapa hari tidak berani ke toko. Hari terakhir di toko, tikus sempat melintasi kakinya. Di saat sedang melayani pembeli. Dia berteriak histeris melengking seperti ringkikan kuda. Mengagetkan pengunjung toko.
Menyadari situasi semakin parah, Merma'id memberanikan diri memberi saran. Menerapkan cara seperti yang diterapkan oleh toko kelontong di seberang jalan.
Saat menjelaskan pada sang Bos, Merma'id berusaha meyakinkan. Kalau toko kelontong di seberang jalan itu walau juga ada tikusnya, orang di dalam toko itu seperti tenang saja. Tidak gusar menghadapi tikus.