Selesai mengucap kalimat terakhir, dari dalam tasnya, Pak Tjokro mengeluarkan sebuah photo. Langsung disodorkan kepada Pak Malis. Sebuah gambar rumah yang megah. Berlantai dua. Bergaya eropa. Di beranda depannya, di tiang kiri kanannya terpasang lentera antik. Lentera yang persis sama dengan lentera yang sudah menemaninya berjualan selama ini.
Pak Malis terhenyak. Jantungnya seperti berhenti berdetak. Namun degubnya masih terasa sangat keras di telinga. Persendian kakinya seperti lunglai. Perlahan ia melangkah menuju ke tempat lentera disembunyikan. Diambilnya dengan hati-hati. Kemudian ditunjukkan pada Pak Tjokro.
Kemudian lirih Pak Malis berucap, "Saya memiliki luka itu. Luka di kepala sebelah kanan. Selama ini saya tidak tahu bagaimana bisa sampai luka begini. Dan Pak Tjokro ternyata kakak saya..."
Pak Tjokro tak bisa berkata-kata. Bahasa manusia yang selamanya menjadi alat pencair kebekuan, kali ini tak mampu melakukan perannya. Di puncak mujizat itu, hanya air mata dan isak tangis yang menyeruak memenuhi ruang.
Mereka berdua hanyut dalam penjelajahan kenangan masing-masing. Berbagai molekul di udara saling memenuhi dan saling bergerak aktif menautkan diri. Menari-nari rancak berirama harmoni dalam atmosfir di sekitar mereka.
Sore itu, langit begitu cerah. Kemucik suara alam mendandani dua jiwa yang lama terpisah. Sang surya masih menyisakan ketegasan sinarnya. Menerangi ruang-ruang gelap dalam tiap palung jiwa. Hingga datang bahan sintesis baru menyeruak di antara dua anak manusia itu, "Maaf Pak, apa lentera itu sudah laku?"
-selesai-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H