"Ini aneh...ini benar-benar aneh. Mengapa mereka tidak membentak Pak Malis? Mengapa mereka jadi kalem begitu? Bukankah mereka orang-orang yang beringas? Ini sudah jam lima lebih..," pikir Pak Kamim bertanya-tanya sambil berkali-kali menatap tugu kota yang dihiasi bundaran besar penunjuk waktu.
Petugas sisanya yang masih duduk di atas mobil bak, juga terlihat tidak peduli. Mereka tekun mengawasi Pak Malis. Tidak terlihat raut gusar pada wajah mereka. Air wajah orang-orang berseragam itu semuanya datar. Seperti kena sihir. Bukan seperti orang yang akan menumpahkan amarah. Lebih tepat terlihat seperti orang yang baru bangun dari tidur panjang. Air wajah persimpangan. Air wajah antara sedang bermimpi dan tidak.
Sampai salah satu dari mereka tiba-tiba berujar deras, "Hei...ayo berangkat...kita cek di sebelah Barat... ."
Akhirnya rombongan petugas berseragam itu enyah dari area trotoar. Tanpa ada bentakan dan penyitaan. Dua pengunjung lapak Pak Malis yang terakhir juga terlihat puas dengan barang pilihannya. Terlebih Pak Malis tersenyum lebar sembari sigap mengemas barang dagangan. Kemucik burung kota pada rindangnya pepohonan, seperti bertepuk tangan menyaksikan pemandangan itu.
****
Menyadari perubahan yang dialami, Pak Malis kemudian berketetapan hati untuk tidak menjual sang lentera. Cukup sebagai teman berjualan. Tidak lagi dipajang menyolok mata.
Sudah puluhan tahun Pak Malis menekuni profesi berdagang barang bekas. Rupanya jalan hidup terang benderang yang pernah diimpikan, sedang menghampirinya.
Tiba-tiba saja ia tersentak. Pikirannya melayang pada satu peristiwa beberapa tahun silam. Di pinggiran kota besar bekas persawahan subur. Beberapa lama sebelum ia pindah berjualan ke kota besar. Saat itu hari sudah petang. Sang surya sudah terlebih dahulu pulang meninggalkannya. Ia sedang berjalan pulang dari berdagang barang bekas.
Melintasi sebuah jembatan beton tua. Selebar satu meter, sepanjang tiga depa. Sungai yang dikenal dalam itu sedang penuh dialiri air. Angin berhembus malas. Rimbun serakan dedaunan kering pohon bambu, semakin mempercepat langkah kaki memilah kulit bumi. Maklum karena Pak Malis pernah sampai dua kali menginjak ular yang juga sedang melintas.
Baru dua langkah meninggalkan ujung jembatan, ia mendengar suara jeritan. Sontak kepalanya berputar-putar. Mencari sumber suara. Sekilas terlihat kepala anak manusia timbul tenggelam terbawa arus sungai.
Sebagai pedagang barang bekas, penyelamat hidup kaum benda bekas, naluri penyelamatan hidupnya spontan menyembur.