Hari Anti Korupsi sudah dekat. Kantor tempat Ma'id bekerja, mengadakan lomba. Kepala kantornya sungguh kreatif. Untuk menekan dan melenyapkan budaya korupsi, sang kepala kantor menggelar lomba.
Lomba diikuti oleh seluruh penghuni kantor. Dari tukang kebun sampai kepala kantor. Lombanya mudah. Hanya menuliskan ide yang berupa semboyan, motto ataupun deretan kalimat. Intinya adalah tulisan atau semboyan itu sanggup mengikis niat untuk melakukan korupsi di lingkungan kantor. Ada sejumlah hadiah menarik bagi semboyan terpilih.
"Apakah benar ini adalah ide pak kepala kantor?" tanya Ma'id pada kepala bagian.
"Iya benar. Saat rapat kemarin, Aku dengar sendiri pak kepala mengatakan itu. Bahkan nanti pak dirut dan para komisaris juga hadir," sahut pak kepala bagian meyakinkan.
"Pak kepala kantor ingin mereka tahu kalau kantor kita ini serius menangani korupsi," lanjutnya lagi.
"Wah..pasti seru ini..jajaran pusat sampai hadir...baguslah..," gumam Ma'id.
**
Tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Di aula kantor sudah dihias sedemikian rupa. Panitia lomba yang juga kawan sejawat segera mengeluarkan tulisan peserta lomba. Bentuknya digulung semacam gulungan arisan. Maklumlah karena masih rahasia. Intinya adalah makna dari tulisan itu. Juri dari beberapa LSM sudah bersiap. Memasang telinga lebar-lebar.
Gulungan pertama dibuka. Kemudian dibacakan.
"Berani Korupsi? Ingat anak istri..neraka menunggu! Oleh, ibu Jinten."
Hadirin tersenyum. Suasana riuh rendah. Dirut dan para komisaris bertepuk tangan. Kepala kantor tersenyum lebar. Ibu Jinten adalah penjaga kantin di belakang kantor.
Gulungan kedua dibuka. Juga dibacakan.
"Berdoalah sebelum bekerja. Niscaya korupsi tak berani mampir. Oleh Mangkus."
Hadirin juga memberi aplaus. Para juri mangut-mangut. Mulai memilah-milah semboyan yang terbaik. Gulungan-gulungan berikutnya lancar dibacakan. Hadirin semakin antusias. Kepala kantor terlihat puas. Gemuruh tepuk tangan memantul-mantul di dinding ruangan.
Hingga pada gulungan ke sekian, suasana senyap seketika bak belanda baru tiba. Gulungan sudah dibuka. Panitia tak kunjung membaca. Wajahnya tetiba pucat. Kerongkongannya terasa kering. Hadirin bengong.
Menyadari situasi, kepala kantor langsung berdiri. "Hayo baca segera. Apa yang Kau tunggu?"
Dengan suara gemetar panitia membaca. Mikrofon membantu menggemakan suaranya.
"Turunkan kepala kantor sekarang juga! Kami sudah muak dengan kelakuannya!"
Sunyi. Senyap. Kemudian ada satu suara tepuk tangan. Iya tepuk tangan dari seorang direktur utama.
Ma'id tidak terlihat di ruangan aula itu. Dia lebih memilih selonjoran di bawah rindangnya pelataran parkir. Sambil mengumbar senyum pada setiap kawan yang lewat. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H