Mohon tunggu...
o n e t  b u r t o n®
o n e t b u r t o n® Mohon Tunggu... Wiraswasta - o l e h

Tukang Ojek. Tinggal di Denpasar Bali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Rumah di Atas Pipa

6 Juni 2020   19:55 Diperbarui: 9 Juni 2020   18:20 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perkampungan. (Foto: KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG)

Derit suara pintu mengagetkan lelapnya Ebu Lenath. Mendiang istrinya sempat melambaikan tangan dalam lelap singkatnya itu. 

Lenath, anak semata wayangnya sudah begitu perlahan membuka pintu kayu itu. Beberapa bagian bilah papannya sudah berlubang. Ujung siku bawah sudah termakan rayap. Mungkin sudah sebegitu dalam. Hingga tinggal cat hijau tua dan pelapis dasar catnya saja yang sekedar menempel.

"Nanti ayah olesi engselnya dengan minyak. Kau sudah beli kerupuk itu?" tanya Ebu Lenath sambil mengusap mata dengan punggung tangan kanan.

Lenath, yang sebentar lagi akan menamatkan sekolah dasar itu, hanya mengangguk sambil meletakan sebungkus pastik kecil di meja makan. Dan berlalu ke belakang. Ke bilik belakang. Dia ingin melihat apakah ayahnya sudah mengetahui apa yang mereka ditemukan sejak beberapa hari ini.

"Jangan kau apa-apakan dulu nak. Biar ayah yang mengerjakan..awas kau bisa terperosok," ujar ayahnya dari bilik depan.

"Sinilah kita makan dulu." 

"Iya.. Iya.. Yah..," sahut Lenath kemudian menemui ayahnya.

Mereka berdua kemudian makan di tengah siang nan terik. Nasi putih berlauk kerupuk dengan sambal dan kecap. Hidangan sehari-sehari yang mereka kenal. Kalau hasil jualan bensin eceran sedang ramai, mereka bisa menambahkan menu dengan sayur asem dan beberapa potong tempe bacem.

Semuanya beli. Kecuali nasi. Ebu tidak terbiasa memasak. Sepeninggal istrinya sebelas tahun yang lalu, dia harus memasak nasi sendiri. Itupun beberapa hari dia lakukan sebelum akhirnya boleh dikata bisa memasak.

Mereka cuma berdua mendiami rumah sederhana itu. Rumah semi permanen. Berbilik tiga. Berdiri dekat dengan jalur rel kereta api. Rumah itu diberikan oleh mertuanya.

"Kau pakai saja rumah itu. Kalau ada yang menagih tiap bulannya, kau bayar saja. Jangan sekali-kali melawan," ucap mertuanya saat menyerahkan kunci pintu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun