Mohon tunggu...
o n e t  b u r t o n®
o n e t b u r t o n® Mohon Tunggu... Wiraswasta - o l e h

Tukang Ojek. Tinggal di Denpasar Bali

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Covid dan Marhaen

3 Juni 2020   20:20 Diperbarui: 3 Juni 2020   20:29 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: pixabay.com

Apa hubungan Covid dan Marhaen? Mencari hubungannya bak orang kurang kerjaan. Mungkin lebih pas kalau dikatakan bernostalgia. Bukankah syarat bernostalgia adalah adanya kejadian masa lampau dan masa saat sekarang?

Nah itulah mungkin satu alasan pas, tulisan renyah ini akhirnya kelar. Dengan agak terseok-seok. 

Menggunakan alat teropong khusus agar nostalgia dua masa ini saling mengait. Keduanya diibaratkan bagai dua orang yang sedang berkasih-kasihan.

Mereka dipisahkan oleh jarak dan waktu. Dikatakan jauh mereka dekat. Dikata dekat mereka jauh. Lebih pas kalau disebut jauh di mata dekat di hati. Bahkan lekat di hati dan tanpa sekat. 

Bentang jarak waktu antara mereka tidak main-main. Hampir seratus tahun. Marhaen dikenal sekitar tahun 1920-an. Sementara Covid semua tahu munculnya di penghujung tahun 2019. Sesuai namanya Covid-19.

Terlepas dari nama Marhaen itu sendiri. Apakah nama sesosok petani mandiri yang dijumpai Bung Karno di Bandung selatan, sebagaimana yang banyak diungkapkan dalam buku sejarah? 

Atau malah gabungan tiga nama dari filsuf besar yang masa itu sedang digandrungi Bung Karno. Marx, Hegel dan Engels. Boleh jadi akan menjadi rahasia abadi Bung Karno.

Bung Karno boleh disebut sebagai seorang yang visioner. Seorang yang berpikiran jauh ke depan. Mampu memprediksi apa saja yang mungkin terjadi di masa depan. Terutama yang berhubungan dengan kelangsungan hidup negerinya. 

Perilaku Marhaen
Kondisi seperti sekarang, saat pandemi Covid-19 merontokkan sendi-sendi kehidupan manusia di hampir semua belahan bumi, sepertinya ide melambungkan nama dan cara hidup Marhaen seratus tahun silam, saat sekarang seperti menemukan gayungnya.

Menemukan maknanya. Merajut kembali kisah mereka yang begitu lama terpisah.

Tak kurang misalnya seorang ibu yang eksentrik, mantan menteri Kelautan dan Perikanan dari Kabinet Kerja Jokowi. Ibu Susi Pudjiastuti dalam sebuah cuitannya di media sosial Twitter. Mengajak warganet mulai menanam. Iya, menanam tanaman kebutuhan sehari-hari. Utamanya sayur.

"Bagaimana kalau pemerintah masih mengimpor sayur?" cuit seorang warganet. 

"Jangan dibeli! Pakai sayur hasil sendiri!" sahut ibu Susi pendek dan tegas.

Sumber gambar: tangkap layar Twitter @susipudjiastuti
Sumber gambar: tangkap layar Twitter @susipudjiastuti
Sumber gambar: tangkap layar Twitter @susipudjiastuti
Sumber gambar: tangkap layar Twitter @susipudjiastuti
Cuplikan cuitan bersahutan itu tentu bukan sekedar cuitan ringan. Apalagi cuitan bercanda. Ada makna kuat yang mendasarinya.

Kalau saja pak Marhaen mendengarnya tentu dia akan tersenyum mengiyakan. Menyetujui usul ibu Susi dua ratus persen tanpa tedeng aling-aling.

Memenuhi kebutuhan dasar sebagai manusia adalah kekuatan utama dari pikiran Marhaen. Berupaya sekuat tenaga tidak tergantung pada orang lain. Tidak tergantung pada bangsa lain.

Dimulai dari diri sendiri. Intinya adalah bergerak. Bergerak yang mengutamakan hasil untuk pemenuhan kebutuhan dasar hidup. 

Bung Karno menjadikan Marhaen sebagai role model bangsanya adalah semata-mata agar di masa depan sanggup mandiri. Tidak tergantung kepada bangsa lain. Bahkan jikalau sanggup bertumbuh kembang, kenyataan sebaliknya tentu akan terjadi. 

Dalam pandangan ideologi, Marhaen  adalah borjuis kecil. Alat-alat produksi adalah milik sendiri. Tidak mempekerjakan orang lain. Tidak tunduk dengan seorang boss. Dia merdeka. Hasil yang diperolehnya adalah utuh miliknya. Tidak ada potongan satu sen pun oleh siapa pun. 

Lingkup yang lebih luas tentulah sebuah negara. Sebuah pemerintahan. Bukankah kita sudah merdeka sejak 1945?

Berarti satu aspek sudah dipenuhi dan diwariskan oleh para pendiri dan pejuang bangsa. Tinggal dua lainnya. Merdeka akan alat produksi di seluruh negeri. Dan merdeka dengan bekerja sendiri. Mempekerjakan anak negeri.

Kalau itu sampai terjadi maka tentu kebutuhan dasar rakyat terpenuhi. Tidak sampai mendatangkan dari luar. Apalagi hanya sekedar sayur. Seakan kita hidup di negeri yang kekurangan tempat menanam.

Seberapa yakin negeri ini di saat wabah Covid yang tak kasat mata, mengetuk pintu tetangga untuk sekedar membeli sayurnya? Itulah yang sudah terjadi. Miris bukan?

Kalaupun sebenarnya produksi sayur dalam negeri cukup dan hanya terkendala distribusi, ya segera bereskan itu. Kalaupun ada mafianya, segera babat. Kalau tidak mampu, kembali kepada saran Ibu Susi, jangan beli sayur impor. Belilah pada petani sendiri. Atau petik dari halaman belakang rumah.

Tentu bukan berarti kita semua harus menanam sayur. Kita bukan negeri komunis. Negeri komunis saja tidak seperti itu. Alangkah bodohnya kalau itu sampai terjadi.

Mengapa bodoh? Karena Ibu Susi tentu tidak bermaksud seperti cuitan di media sosial itu. Itu adalah bentuk kekesalan beliau pada penyelenggara negara. Mengapa hanya sekedar sayur saja sampai impor? 

Gayung Marhaen itu Bersambut.

Setelah hampir 75 tahun negeri ini merdeka, akhirnya gayung akan ide Marhaen itu bersambut.

Kalau saja tiap-tiap insan negeri menyadari pentingnya pemikiran Marhaen terutamanya para penyelenggara negara, tentu ajakan presiden Jokowi untuk hidup berdamai dan berdampingan dengan Covid-19 akan diterima tanpa gunjingan berarti. 

Seluruh rakyat negeri akan merasa aman. Kebutuhan dasar hidup terpenuhi. Hantaman Covid-19 ini tentu bak senggolan saja pada pinggang Samson Betawi. Tidak sampai membuatnya oleng. Apalagi rubuh. 

Tidak, itu tidak akan pernah terjadi. Justru kisah kasih Marhaen dan Covid akan menjadi legenda hingga akhir masa. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun