Mohon tunggu...
o n e t  b u r t o n®
o n e t b u r t o n® Mohon Tunggu... Wiraswasta - o l e h

Tukang Ojek. Tinggal di Denpasar Bali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Segulir Kisah Batu Loncatan Hidup

13 Januari 2020   22:10 Diperbarui: 14 Januari 2020   00:29 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi:pixabay.com

Awal pulang dari menuntut ilmu, selembar ijazah sebenarnya menjadi beban. Bagaimana tidak, rasa hati untuk bekerja pada orang ataupun perusahaan bukanlah menjadi cita-cita.

Samudji tidak menyukai itu. Sedari awal dia memang suka mandiri. Cita-citanya membuka usaha sendiri. Entah apapun itu.

Rejeki pertama berhasil dia kantongi lumayan banyak. Jutaan rupiah. Hasil wara-wirinya selama sebulan. Komisi dari penjualan sebidang sawah. Tentunya sawah orang lain.

"Berat juga melakoni kerja nyalo ini. Sepertinya kurang menjamin. Aku harus mengerjakan pekerjaan yang pasti menghasilkan setiap hari. Walaupun sedikit," pikirnya saat itu.

Satu unit tempat usaha sudah disediakan ayahnya. Tidak begitu besar. Sekitar tiga kali enam meter. Cukup untuk memulai sebuah usaha. Lokasinya juga menjanjikan. Di pinggir jalan keluar sebuah pemukiman penduduk. 

Modal sudah ditangan, satu dua hari dia mereka-reka beberapa pilihan usaha. Akhirnya dia memutuskan, membuka usaha bengkel motor.

Ayahnya mendukung. Apapun yang dia pilih ayahnya pasti mendukung. "Ada usaha pasti ada jalan," kata ayahnya suatu ketika. 

Pernak pernik bengkel segera dilengkapi. Seperti sudah menjadi jalannya. Delapan setengah juta rupiah komisi nyalo sawah, habis menjadi peralatan bengkel dan suku cadang.

Riak Gulir Bengkel Samudji

Hari pertama buka bengkel sungguh menjanjikan. Ada beberapa yang minta ganti oli. Sering hanya membeli angin. Juga beberapa suku cadang kecil.

Semangat, keberanian dan kesigapan sejatinya kuranglah komplit. Apalagi terjun dalam usaha yang langsung bersentuhan dengan konsumen. Pengalaman nyata sungguh diperlukan. Setidaknya latihan. 

Sampai pada hari kedua di terik siang, datang seorang bapak bertopi FoX menuntun sebuah sepeda motor laki. Ban belakangnya terlihat kempes.

Samudji sigap menyambut.
"Ditambal Pak?"
"Oh..iya mas..tolong ditambal.." sahut sang bapak sembari menarik kursi duduk menghadang sepoi angin. 

Samudji cepat mengambil alat. Langkah kerjanya terlihat benar. Ini pertama kalinya dia menambal ban. Seumur hidupnya dia hanya melihat saja. Mungkin dia pemuda cerdas. Dengan melihat saja, dia pikir akan berjalan mulus.

Ban sudah kondisi kempes. Angin sudah keluar. Samudji terlihat berusaha keras mengeluarkan sisi ban luar dari peleknya. Dengan dua buah pengungkit rupanya sudah benar. Seperti yang sering dia lihat. 

Keringatnya mulai bersemi. Bermenit-menit berlalu. Ban luar belum juga keluar dari peleknya. Bapak bertopi FoX mulai gelisah. Dia mendekat. Menatap Samudji penuh risau. Merasa diperhatikan, gerakan Samudji semakin mantap dan tegas. Tapi ban seperti enggan keluar.

"Bagaimana mas..bisa apa tidak?" ucap sang bapak terdengar bagai petir menyambar di siang bolong. 

"Oh..bisa Pak..harusnya ini bisa..sabar Pak.. ban ini...," belum selesai kalimatnya, satu pengungkit yang terjepit pada pelek, lepas terpelanting keras memutar-mutar bak gangsing di udara hingga jatuh ke seberang jalan. Beruntung jalanan sepi.

Bapak bertopi Fox ternganga terbelalak. Baru kali ini dia melihat tukang tambal ban menyuguhkan atraksi menyengat. 

Emak Yah, penjual soto di seberang jalan, histeris berteriak. Pengungkit itu menyambar hampir mengenai kepalanya yang sedang membungkuk memenggal kelapa muda.

"Hadduuuhhh maaass... Piyeee kowee..? Mbok kerjo sing benneerrr...hampirr modiaarr akuu.."

"Maaf Maak...tidak sengajaa.. Maaf..," teriak lantang Samudji berlari memunguti alatnya.

Entah sudah mujizat, selepas atraksi melayangnya pengungkit itu, ban mudah terlepas. Tentu ada cara yang tanpa sengaja dilakukan. Dan itu tercatat tebal dalam ingatannya.

Proses tambal berlangsung mulus. Setelah menerima bayaran, sang bapak bertopi FoX berlalu dengan membawa kesan mendalam.

Rupanya pelajaran siang itu belum selesai. Baru setengah jalan.

Samudji terlihat sedang menata alat. Dia penuh syukur sudah mengetahui detil cara mengeluarkan ban. Kejadian brutal yang baru saja dialami masih lekat di kepala.

Tiba-tiba, "Mas...maas...," warna suara yang masih segar. 

Bapak bertopi FoX itu datang lagi. Motornya sama. Dituntun dan kempes pula. 

"Kempes lagi Mas..."ucap sang bapak datar.

"Oh..mari saya periksa lagi, kena di mana lagi pak?" tanya Samudji sambil otaknya berputar-putar. Secepat itu kempes lagi. 

"Yang bener mas..ya..jangan main-main," ucap lirih sang bapak seperti kehabisan rasa sabar. 

"Mas baru buka ya? Ada mekaniknya gak?" tanya sang bapak sambil mondar-mandir menyapu pandang sekeliling bengkel.

"Oh saya sendiri pak mekaniknya," sahut Samudji agak bergetar.

Sang bapak tidak menyahut. Hanya bersungut. Menatap legit tongkrongan Samudji yang mengenakan setelan bengkel warna mencolok.

"Aahhh...ini dia pak sebabnya...," teriak Samudji girang sambil menunjukkan sebatang paku yang baru dicabut.

Sang bapak mendengus. Terlihat geram.

"Iya.. Iya.. Hayo tambal lagi.. Saya sedang terburu...," ketus sang bapak menyahut.

Hari itu dilalui dengan penuh pelajaran berharga. Ilmu-ilmu ternyata begitu banyak berhamburan di kehidupan nyata. Setiap malam menjelang tidur selalu ditorehnya lekat-lekat pelajaran itu. Walau ilmu yang terbilang ringan namun ada kesan mendalam di dalamnya.

Pelajaran terus berlangsung. Seperti berserial. Ilmu menambal sudah di atas angin. Sudah terbilang ahli. Di mana saat puncak ramai Samudji pernah sampai memiliki tiga alat press ban.

Dengan tiga alat press ban itu, bukannya keuntungan yang diperoleh. Justru buntung yang didapat.

Bagaimana tidak, pernah suatu ketika, tiga alat press itu bekerja bersamaan. Sementara dia sendirian. Sedang mengurus satu ban motor, alat press yang lain hangus terbakar. Ban dalam yang sedang dipress, meleleh putus. Ibu gendut pemilik motor sampai mencak-mencak. Akhirnya sang Ibu gendut mendapatkan ban dalam baru. Gratis pula.

Semenjak itu, Samudji menjadi lebih bijak. Dan selalu awas kalau-kalau ilmu baru datang menghampiri. **

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun