Pemimpin merupakan orang yang sangat dibutuhkan dalam suatu substansi sosial. Tanpa pemimpin, suatu substansi sosial akan hancur lebur dan akan berjalan tanpa arah.
Ibarat seekor hewan, suatu substansi sosial tidak akan berjalan tanpa kepala. Realita ini dapat kita temukan di semua institusi-institusi sosial. Di negara kita misalnya, tanpa seorang pemimpin, roda pemerintahan akan anjok.
Namun, meskipun terdapat seorang pemimpin dalam suatu institusi, hal itu tidak bisa menjamin bahwa pemerintahan akan berjalan sebagaimana mestinya. Pemimpin-pemimpin yang tidak berkualitas sejak dahulu hingga saat ini telah menunjukan kinerja buruknya di mana-mana.
Sejarah telah membuktikan bahwa merekalah yang bertanggungjawab atas banyak kegagalan yang terjadi di masyarakat. Hal inilah yang membuat masyarakat dewasa ini bersikap mawas diri terhadap figur-figur politik yang mengakui diri mereka sebagai pemimpin ideal.
Di antara ketatnya pertarungan politis yang menggeliat antara kaum oposisi dan koalisi yang menduduki pemerintahan, endorsement tentang seorang sosok pemimpin ideal yang diimpikan oleh setiap masyarakat merupakan suatu medan pertempuran terpanas yang saat ini sedang menyita banyak perhatian.
Panasnya pertarungan politis dewasa ini, bahkan sempat mengubah wajah dimensi sosial-politik bangsa kita. Karakteristik kepemimpinan seorang pemimpin yang seharusnya merupakan suatu hal otentik, malah semakin hari semakin dibuat-buat. Hal inilah yang dinamakan dengan politik pencitraan.
Menarik apa yang diungkapkan Sidik Pranomo tentang politik pencitraan di laman Republika, “Alih-alih memperlihatkan kelemahan, justru kerap dengan beragam cara, operasi pencitraan kerap dilakukan demi menempatkan seorang figur politik seolah menjadi ‘manusia-setengah-dewa’ tanpa cela”.[1] Hal ini menunjukan bahwa pesta demokrasi yang semestinya didorong oleh urgensitas hajat hidup bangsa dan negara, malah terlaksana menjadi sebuah panggung kontestasi curang beberapa figur politik yang berniat memperoleh tampuk kepemimpinan.
Karakter kepemimpinan yang ideal merupakan salah satu titik preferensi masyarakat dalam kontestasi lima tahunan di negeri ini. Antara gaya karismatis dan gaya diplomatis, ataupun antara gaya otoriter dan gaya moralis, masyarakat semakin dibuat bingung: gaya kepemimpinan apakah yang ideal dan cocok untuk diterapkan bagi bangsa Indonesia? Hal ini menimbulkan perdebatan sengit yang terus menerus menjejali ruang publik.
Masyarakat dewasa ini sudah tidak sama bodohnya dengan masyarakat di masa lalu. Sistem pendidikan yang sedemikian intensif dan teknologi yang memengaruhi masyarakat zaman now, membuat warga masyarakat semakin kritis.
Tak hanya menuntut pemimpin yang pro rakyat seperti yang dicita-citakan masyarakat di masa lalu, masyarakat zaman now juga menuntut pemimpin tahu berpolitik. Dia harus mampu menjalin interaksi dan hubungan kerja sama dengan siapapun dan dengan cara apapun demi menegakan pemerintahan yang aman, adil dan sejahtera.
Presiden ke-7 RI: Pemimpin Ideal?
Salah satu figur politik yang digadang-gadang sebagai seorang pemimpin ideal saat ini adalah presiden ketujuh Republik Indonesia. Joko Widodo yang merupakan orang nomor satu di negeri ini memiliki gaya dan pendekatan kepemimpinan yang khas dan berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya. Gaya kepemimpinannya yang merakyat disukai oleh banyak kalangan.
Kepemimpinan Jokowi dikenal oleh masyarakat sebagai blusukan. Tanpa diduga dan tanpa terjadwal pula, kerap kali ia menghampiri masyarakat dan pejabat pemerintahan yang ada dibawahnya. Hasilnya, ia bisa melihat kondisi yang lebih spontan. Karena itu pula ia bisa lebih dekat dengan rakyat. Kebiasaan blusukan ini juga dibawa ketika menjabat Gubernur DKI Jakarta. Hingga kini saat menjadi sebagai presiden, kebiasaan itu pula dibawanya.
Selain gaya blusukan, kebijakan-kebijakan yang telah dibuatnya sebagai seorang kepala negara sekaligus kepala pemerintahan juga sangat pro rakyat. Dalam masa pandemi, melalui kebijakan-kebijakannya, masyarakat tetap dapat menikmati kesejahteraan meskipun dihimpit oleh masalah-masalah mendesak yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.
Dalam suatu konferensi pers yang diselenggarakan di Istana Negara, Ucap Moeldoko, selaku dewan staf kepresidenan, “Jumlah kasus di Indonesia masih jauh lebih sedikit dibandingkan Amerika.” Moeldoko menambahkan bahwa kontraksi pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tidak sedalam Amerika yang mencapai -9,1%.[2] Kabar ini tentunya sangat membanggakan masyarakat dan menjadi kekuatan Jokowi untuk meligitimasi kekuasaannya sebagai presiden.
Kebanggaan terhadap pemimpinnya ini tentunya tidak dirasakan oleh segenap warga masyarakat Indonesia. Di antara semua orang yang menyukai dan mencintai caranya memimpin, masih ada saja yang membenci, iri, nyinyir, dan bahkan hendak mempolisikannya. Lawan-lawan politik orang nomor satu di Indonesia ini terkadang mempersulit gaya kepemipinannya yang merakyat.
Melansir sebuah berita yang dimuat di Kompas.com, pendiri lembaga Kedai Kopi, Hendri Satrio mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo sulit mengambil kebijakan yang berpihak pada rakyat karena formasi menteri pada Kabinet Kerja Jilid II yang lebih banyak diisi kalangan partai politik dinilai mempersulit kinerja presiden kita ini.[3] Jika tidak ada tindakan tegas yang dilakukan oleh sang presiden untuk melawan kepentingan-kepentingan lain yang ditawarkan figur-figur politik lain dalam kabinetnya, maka orientasi kerakyatan akan semakin terancam.
Pemimpin Ideal dalam Pemikiran Machiavelli
Salah satu tokoh politik sekaligus pemikir di masa lalu yang tergolong kontroversial adalah Niccolo Machiavelli. Pemikiran seorang tokoh asal Italia ini tentang politik banyak ditanggapi dengan sikap pro maupun kontra.
Di pihak kontra, pemikirannya sering dinilai sebagai politik berwatak setan. Nama Machiavellian sering dikonotasikan kepada gambaran seorang negarawan, politisi, atau kawan yang hanya mementingkan diri sendiri, licik, munafik, tidak jujur, pembohong, pengecut dan immoral.
Dalam bahasa yang mashur, Machivellian sering dipahami sebagai “orang yang menghalalkan segala cara guna merealisasikan kepentingannya.” Buku-buku karya Machiavelli kadang dikatakan sebagai buku pedoman wajib bagi para diktator. Tak heran jika Bertrand Russel dalam bukunya The History of Western Philosopy mengatakan, “Filsafat politik Machiavelli lebih tepatnya merupakan filsafat politik para gangster.”[4]
Seorang pemimpin ideal haruslah menjadi seorang pemimpin yang menghalalkan segala cara demi keamanan, kesejahteraan, dan kebahagiaan rakyatnya. Hal itulah yang Machiavelli konsepkan dalam bukunya yang berjudul “Il Principe” atau “Sang Pangeran”. Namun ternyata, buku dan konsepnya ini mendapat banyak cercaan dan kutukan dari banyak pihak.
Alasannya, sosok pemimpin ideal versi Machiavelli sangat bertentangan dengan sosok pemimpin ideal versi orang kebanyakan. Jika masyarakat Florence tempat ia tinggal yang pada saat itu mendambakan pemimpin yang baik hati dan pemurah, maka menurut Machiavelli, pemikiran seperti itu adalah keliru.
Machiavelli berpendapat, seorang pangeran/pemimpin harus mengabaikan pertimbangan moral sepenuhnya dan mengandalkan segala sesuatunya atas kekuatan dan kelicikan.
Dalam mengejar suatu tujuan, dibutuhkan cara yang tegas dan bila perlu cara yang keras untuk mendapatkannya. Pemimpin yang baik dan ideal adalah pemimpin yang cerdas dalam bertindak dan tahu berpolitik.[5] Melihat rakyat terancam kepentingan-kepentingan politik suatu golongan, satu keinginan Machiavelli kepada para pemimpin: selamatkanlah rakyat!
Machiavelli menasihatkan para pemimpin agar mendapat dukungan rakyat, karena jika tidak, dia tidak punya sumber untuk menghadapi kesulitan. Tentu, Machiavelli memaklumi bahwa kadangkala seorang penguasa, untuk memperkokoh kekuasaannya harus berbuat sesuatu untuk mengamankan kekuasaannya dengan terpaksa membuat sesuatu yang tidak menyenangkan lawan-lawan politiknya.
Dia mengusulkan, si penguasa mesti mengatur langkah keras dan tegas sehingga rakyat tidak perlu mengalami penderitaan yang datang terus menerus. Machiavelli menyarankan, agar kepemimpinannya langgeng, seorang pemimpin harus dikelilingi oleh menteri-menteri yang mampu dan setia.
Beliau melarang keras para pemimpin untuk menempatkan para tokoh politik radikal yang berlawanan dengannya untuk menjadi menteri dalam pemerintahannya. Baginya, hal itu akan menyulitkan pemimpin mengambil keputusan dan menjerumuskan pemimpin itu mengambil langkah yang salah.[6]
Dalam bab 17 buku Il Principe, Machiavelli memperbincangkan apakah seorang pangeran itu lebih baik dibenci atau dicintai. Bagi Machiavelli: "Jawabannya ialah seorang pemimpin selayaknya harus bisa ditakuti dan dicintai sekaligus. Namun, jika sang pemimpin tidak mampu mendapatkan keduanya, ia lebih baik ditakuti daripada dicintai."[7] Hal ini menjelaskan fenomena yang meliputi kepemimpinan kita di negeri ini.
Selain harus dicintai untuk mempertahankan legitimasi kekuasaannya, Presiden Jokowi, yang digadang-gadang sebagai seorang pemimpin ideal juga harus dibenci oleh para lawan politiknya. Ia harus menindak tegas para lawan politik yang berusaha mendiktenya dalam usaha untuk memihak rakyat.
Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang tidak memperlihatkan kelemahannya kepada lawannya – ia harus tegas. Ketegasannya itu juga tidak sama dengan pencitraan yang hanya berlangsung satu atau dua kali, tetapi ketegasan itu harus menjadi watak dasar dan bukan sebagai penghias belaka.
Pembicaraan ini sebetulnya sangat relevan saat ini ketika ada beberapa menteri yang bermasalah seperti yang saat ini sedang hangat-hangatnya dibicarakan karena terlibat dalam skandal pangadaan alat tes PCR, kenaikan harga minyak goreng, dan konflik agraria. Jokowi sebagai seorang pemimpin yang ideal, harus menindak tegas menteri-menteri yang bermasalah itu jika ia benar-benar pro rakyat dan mementingkan kebaikan bersama.
Cintanya kepada rakyat dan bangsa harus mengikuti jalur yang dikedepankan berdasarkan kebutuhan, kejayaan, kebaikan negara dan bukan pada kebaikan sekelompok menteri atau partai politik. Penguasa harus memadukan machismo (semangat keprajuritan) dengan pertimbangan politik.
Il Principe karya Machiavelli menjelaskan beberapa watak penguasa ideal. Yang pertama adalah pemimpin ideal harus memiliki kemampuan untuk menjadi baik sekaligus buruk, baik dicintai maupun ditakuti. Watak-watak seperti ketegasan, kekejaman, kemandirian, disiplin, dan kontrol diri juga merupakan hal yang paling dibutuhkan dalam menjadi seorang pemimpin ideal – ia tidak boleh menjadi boneka siapapun.
Selain itu, reputasi yang menyangkut kemurahan hati, pengampunan, dapat dipercaya dan tulus juga sangat berguna bagi legitimasi kekuasaan seorang pemimpin. Machiavelli menasihati penguasa untuk melakukan apapun yang diperlukan, betapapun tampak keras dan tercela, rakyat pada akhirnya hanya peduli dengan hasilnya, yakni kebaikan negara.
Seorang pemimpin ideal harus cerdas mengatur balance antara ketegasan dan kebaikan hati. “Ia harus belajar meniru singa yang tangguh dan rubah yang licik, karena singa tidak dapat membela diri sendiri terhadap perangkap dan rubah tidak dapat membela diri terhadap serigala”, demikian kata Machiavelli.[8] Karena itu, pemimpin harus bersikap seperti rubah untuk mengetahui adanya perangkap dan seperti singa untuk menakuti serigala. Mereka yang hanya ingin bersikap seperti singa ataupun hanya seperti rubah adalah seorang pemimpin yang bodoh.
Catatan Kaki:
[1] Sidik Pramono, “Pencitraan dan Takdir Pemimpin di Negeri Ini”, dalam Republika ( 09/10/2015), https://www.republika.co.id/berita/nvwd5p336/pencitraan-dan-takdir-pemimpin-di-negeri-ini, diakses pada 5 November 2021.
[2] Dhika Kusuma Winata, ”Istana: Presiden Jokowi masih Prorakyat”, dalam Media Indonesia (21 Oktober 2021), https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/354703/istana-presiden-jokowi-masih-prorakyat, diakses pada 6 November 2021.
[3] Christoforus Ristianto, “Menteri dari Parpol Dinilai Persulit Jokowi Ambil Kebijakan Pro Rakyat”, dalam Kompas (18/10/2019), https://nasional.kompas.com/read/2019/10/18/10163651/menteri-dari-parpol-dinilai-persulit-jokowi-ambil-kebijakan-pro-rakyat, diakses pada 6 November 2021.
[4] Bertrand Russel, A History of Westren Philosophy (London: Taylor & Francis e-Library, 2004), hlm. 584.
[5] Ikhwan, “Machiavelli: Pembenaran Kekerasan dalam Politik Kekuasaan” dalam Jurnal Al-Ijtima`I, 7:1 (Aceh: April, 2013), hlm. 119.
[6] Niccolo Machiavelli, Il Principe/The Prince, translated by Harvey C. Mansfield (Chicago: University of Chicago Press, 1985), hlm. 50-59.
[7] Ibid., hlm. 65
[8] Ibid., hlm. 79.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H