Mohon tunggu...
ona mariani
ona mariani Mohon Tunggu... Freelancer - Riset

Content Writer || Content Creator || Researcher || Journalists

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hannah Arendt, Corona, dan Totaliterisme Negara

3 April 2020   14:15 Diperbarui: 3 April 2020   14:22 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun melihat masyarakat dunia hari ini yang secara menggila berburu masker, sanitizer, dan bahan makanan ketika wabah Corona menyerang , saya menjadi percaya bahwa di situasi krisis sesuatu yang tak masuk di akal pun itu mungkin.

Totalierisme Negara dan Manusia Otentik

Hitler dengan sejumlah kebijakannya yang tidak manusiawi, berhasil menjadikan Yahudi sebagai musuh bersama, atau dalam istilah Arendt disebut sebagai " musuh objektif "

Kebijakan ini diawali dengan melakukan sinkronisasi terpadu, yang memaksa organisasi, partai politik, dan pemerintah negara untuk sejalan dengan sasaran-sasaran yang ditetapkan Nazi dan yang menempatkan mereka di bawah kepemimpinan Nazi. Budaya, ekonomi, pendidikan, dan hukum berada di bawah kendali Nazi yang lebih besar. Syarikat-syarikat dagang ditiadakan dan para pekerja, pegawai, dan majikan dipaksa bergabung dengan organisasi-organisasi Nazi. Per pertengahan Juli 1933, partai Nazi menjadi satu-satunya partai politik yang sah di Jerman. Reichstag (parlemen Jerman) menjadi "tukang stempel"untuk kediktatoran Hitler. Kemauan sang Fuehrer menjadi landasan kebijakan pemerintah.

Sebagai Fuehrer sekaligus ideolog, Hitler mendapatkan legitimasi secara suka rela dari masyarakat Jerman untuk menentukan apa yang "terbaik" untuk kehidupan mereka.

Berawal dari penentuan buku bacaan , pilihan politik, cara berkomunikasi, menikah dengan sesama ras demi menjaga kemurnian ras, hingga membunuh menjadi sesuatu yang dapat dikendalikan oleh negara. Hitler benar - benar melakukan dominasi total terhadap sendi-sendi kehidupan warga negaranya meskipun tanpa data biometris sekalipun.

Lantas bagaimana jika diam-diam ada oposisi yang menyamar di antara warga negaranya ?

Menyadari itu Hitler telah menyiapkan Gestapo (Geheime Staatpolizie) atau polisi negara rahasia, yang di dalamya terdapat kelompok yang disebut pasukan huru-hara atau Sturmabteilungen (SA). Pasukan huru-hara ini bertugas menjadi menjadi mata-mata Hitler di tengah masyarakat.

Polisi rahasia ini menyamar menjadi masyarakat biasa yang bertugas mencari informasi dan data sebanyak mungkin terkait pihak-pihak yang dicurigai sebagai pembangkang. Cara kerjanya cukup cepat dan terukur, dengan mengumpulkan informasi tentang calon korban dari orang-orang terdekat seperti keluarga, kerabat atau pun tetangga yang berinteraksi dengannya. Dan jika mereka bersedia orang-orang terdekat korban ini juga akan didapuk sebagai mata-mata negara. Memberikan informasi pribadi kala itu sama halnya dengan berbakti pada negara.

Meskipun tidak ada teknologi canggih pada saat itu, menurut Arendt , Hitler dengan kemampuan polisi rahasianya dapat menghilangkan rasa percaya sesama anggota keluarga lebih canggih dari teknologi manapun. Karena semua berpotensi menjadi mata-mata negara.

Sekali lagi apa yang ditakutkan oleh Harari dalam tulisannya adalah sesuatu yang pernah benar-benar terjadi di abad 20. Ini semakin menguatkan pandangan bahwa sejarah memang akan berulang, namun dengan sejumlah modifikasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun