Meskipun konsep patriarki  masih bersifat ahistoris, namun sekali lagi harus diakui bahwa hanya patriarki yang dapat menjelaskan posisi perempuan yang tersubordinasi. Fakta selanjutnya adalah bahwa patriarki dapat mempengaruhi, dan akan dipengaruhi oleh elemen-elemen budaya polpuler yang akan semakin mempertegas batas peranan antara laki-laki dan perempuanÂ
Elemen-elemen  budaya popular yang dimaksud di sini diantaranya adalah perkembangan teknologi. Bagaimana kemudian hari ini dunia sedang disibukkan dengan praktik era industri 4.0 yang membuat hampir semua negara mempersiapkan diri untuk itu tak terkecuali Indonesia.Â
Istilah yang dikenalkan oleh Profesor Klau Schwab dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution ditandai dengan serangakain teknologi internet of things  yang menggabungkan dunia fisik, digital, dan biologis; serta dapat memengaruhi semua disiplin ilmu, ekonomi, dan industri. Dunia memiliki potensi untuk menghubungkan miliaran orang ke jaringan digital, meningkatkan efisiensi organisasi, cara mengelola asset, bahkan meregenarasi lingkungan/ alam . (Baca www.weforum.org)
 Lebih jauh dari itu ini tak hanya era perkembangan tekonologi, tetapi meliputi transformasi kehidupan bermasyarakat, mengubah gaya hidup, cara kerja dan keintiman berelasi satu sama lain antar manusia dengan sesamanya atau manusia dengan lingkungan sekitarnya.
Menanggapi fenomena global yang mempunyai dampak signifikan pada masyarakat ini, tentu ada banyak kelompok yang menyambutnya dengan euphoria karena waktu kerja akan semakin singkat namun dengan tetap mematok  standar kepuasan tinggi, karena "mesin pekerja" tidak mengenal lelah, disamping kemampuan artificial intelegence meminimalisir kesalahan  ketika bekerja karena mesin-mesin pekerja akan di program sedemikian rupa hingga taraf ketelitiannya mencapai ketelitian manusia.
Namun tak sedikit juga kelompok yang pro kemanusiaan akan " panik" menanggapi fenomena  yang tak dapat lagi dibendung ini, dengan asumsi pengurangan terhadap jumlah pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh manusia nantinya, yang tentu akan berdampak pada upah yang diterima atau bahkan ketiadaan kerja sama sekali karena semua pekerjaan telah diselesaikan oleh  tenaga kerja "mati" tadi.
Meskipun fenomena ini memiliki dampak  global pada semua jenis gender, namun pada ulasan kali ini  penulis mencoba melihatnya dari sudut pandang seberapa besar peluang serta dampak era 4.0 ini terhadap perempuan. Karena pada wacana revolusi teknologi yang bergabung dengan ilmu pengetahuan ini perempuan merupakan kelompok yang akan dipertanyakan posisinya. Ini tentu  bukan lah tuduhan tanpa dasar karena melihat data Badan Pusat Statistik dua tahun terakhir mencatat perbandingan gender dan tingkat partisipasi pasar kerja antara perempuan (55%) dan laki-laki (83%).Dan dari 55 persen hanya sekitar 30 persen pekerja prempuan yang terlibat dalam Science, Technologi, Engineering and Mathematics/ STEM.
Hal yang kemudian perlu disadari bahwa kemunculan-kemunculan angka-angka di atas bukanlah tanpa sejarah yang jelas, bahwasanya memang di masyarakat kita teknologi telah memiliki jenis kelaminnya sendiri yakni laki-laki. Indikasi semacam ini dapat dilihat bagaiamana sebuah keluarga akan membedakan jenis mainan antara anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki sejak kecil telah akrab dengan robot , pesawat, mobil yang erat kaitanya dengan bentuk hardware teknologi, dan anak perempuan akan sibuk dengan boneka dan alat-alat memasak.  Hal semacam ini memperlihatkan bahwa sejak kecil laki-laki telah lebih akrab dengan teknologi dalam bentuk yang paling sederhana di banding perempuan, sehingga tidak heran kelanjutan dari drama pemilihan jenis mainan ini juga berdampak pada  dominasi  pemilihan je jurusan pendidikan ketika mereka besar nanti, bahwa jurusan teknik perkapalan, mesin, teknik informatika masih menempatkan laki-laki sebagai pelanggan utama.
Secara kronologi menurut Wacjman seorang sosilog yang menghabiskan waktunya untuk penelitan teknologi dan gender serta Donna Haraway yang mendapat julukan feminis tekno-sains ada  sebuah konstruksi politis  antara penguasaan tekonologi yang dikendalikan oleh para maskulin  dengan tujuan menguasai ruang publik. (Baca: Jurnal Perempuan edisi 78 Gender dan Teknologi). Konstruksi politis semacam ini lah yang kemudian membuat perempuan jauh dari tekonologi, sehingga angka 30 persen dari 55 persen bukanlah angka yang begitu saja muncul dengan sendirinya.
Lebih jauh daripada itu kepanikan rendahnya upah kerja buruh perempuan juga tak terelakkan,  bahwasanya menurut BPS tahun 2018 menempati angka Rp2,4 juta dibanding laki-laki yang mencapai Rp  3,6 juta  (Baca: Detik finance edisi 8 November 2018) dan  belum lagi hanya dihitung sebagai buruh "single", karena regulasi hanya menetapkan buruh laki-laki yang akan mendapatkan tunjangan tambahan yakni untuk anak dan istri, ini semakin memperumit masalah ketika misalnya dengan kehadiran teknologi semacam ini akan memisahkan mereka dengan ruang kerja mereka.
Namun terlepas dari itu semua, sekali lagi baik perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tak bisa lagi dibendung, mau tidak mau semua gender tak terkecuali  perempuan pada masanya nanti juga akan dituntut untuk menyesuaikan diri. Hal ini dapat dilihat bagaimana kemudian tema International Women'S Day pada 8 Maret 2019  yakni "Think, Equal, Build Smart, Innovate for Change" merupakan respon nyata terhadap perkembangan era  industri 4.0.