Sampai pada sebuah kecurigaan bahwa patriarki yang dihadirkan oleh para feminis adalah sebuah nama untuk menyebutkan jenis ketakutan yang hadir dalam diri perempuan karena rasa tidak puas dan tidak percaya diri dengan sebuah peran yang tengah dijalaninya.
Pengalaman-pengalaman yang tidak puas demikian ini yang pada akhirnya telah berhasil mengkonstruksi bahwa sesuatu yang domestik adalah seuatu yang lebih rendah dibanding sesuatu yang publik, maskulinitas lebih  sempurna dibanding feminitas, dan kegiatan produksi akan selalu lebih terlihat berkelas daripada kegiatan konsumsi serta rentetan kecurigaan lainnya.
Kegagalan dalam menunjukkan yang mana yang patriarki, juga menjadi penghambat dalam menyukseskan gerakan yang mengatasnamakan kesetaraan gender, yang mana laki-laki  dan perempuan niscaya terlibat di dalamnya. Alasan untuk tak melibatkan laki-laki dalam perjuangan perempuan  seakan menemukan sebab yang tepat untuk berdiri di atas prasangka-prasangka  yang di konstruksi secara sosial antara  hubungan laki-laki dan perempuan
*KARTINI, Â SISTERHOOD DAN POLITIK FEMINIS
Selain pahlawan emansipasi , sebuatan feminis Indonesia juga dilekatkan pada diri Kartini atas apa yang telah dilakukan. Meskipun Kartini tidak turut ikut turun di jalan bersama perempuan Eropa abad 19 untuk menuntut haknya, namun hal ini dapat perhatikan pada beberapa surat yang ia kirim pada sahabatnya Stella Zeehandelaar di Belanda yang tak lain merupakan seorang tokoh feminisme sosialis yang juga turut memperjuangkan hak-hak perempuan di Eropa.
Seperti yang kemudian kita ketahui di beberapa literature terkait gerakan feminism sosialis yang justru terkenal pada abad 20 sekitar tahun 1960-an dalam kampanyenya cenderunng melibatkan laki-laki di dalam perjuangannya untuk menyuarakan hak-hak perempuan. Feminisme aliran ini berpendapat bahwa sumber dari ketertindasan perempuan adalah patriarki dan kapitalisme. Dan mengklaim bahwa perempuan tidak bisa bebas ketika masih menggantungkan kebutuhan finansialnya pada laki-laki. Hal ini yang kemudian terlihat pada perjuangan Kartini dengan mendirikan sekolah perempuan yang memberikan ketrampilan khusus pada siswanya yang seperti menjahit, menenun, dengan harapan ketrampilan-ketrampilan tersebut dapat digunakan nantinya ketika mereka berkeluarga dan tidak hanya bergantung pada suami.
Meskipun pada saat itu istilah feminisme belum cukup mapan di lekatkan pada setiap pergerakan perempuan yang memperjuangkan haknya dibanding dengan istilah Women Movement, namun apa yang kemudian menjadi landasan gerakan perempuan  dari abad ke abad tetaplah sama, yakni karena adanya sisterhood atau rasa solidaritas sesama perempuan.
Ikatan perasaan senasib sepenanggungan menjadi second sexs ini yang kemudian menjadikan sebuah landasan gerak, bahwa apa yang kemudian menjadi hal-hal privat yang dihadapi perempuan menjadi permasalahan bagi perempuan di tempat lain, ini yang kemudian pada perkembangan feminisme gelombang kedua  pada era 1970-1980-an disebut sebat sebagai private is political.
Namun pada perkembangannya sekarang ini ketika cita-cita perempuan untuk terjuan ke ranah publik telah terwujud, ikatan perasaan senasib sepenanggungan itu mulai pudar dan berganti pada sebuah keinginan berkompetisi sesama perempuan untuk mengisi ruang publik. Bahkan tak jarang hal ini dicapai dengan menggunakan tindakan kekerasan.
Pengeroyokan terhadap siswi Sekolah Menengah Pertama yang bernama Audrey di Pontianak oleh beberapa siswi Sekolah Menengah Atas , dan berbagai macam bentuk bully-an di bangku sekolah atau institusi perguruan tinggi yang dilakukan oleh sesama perempuan, kasus perdaganngan perempuan yang sering menjadikan perempuan sebagai pelaku utama dalam memperdagangkan sesama perempuan merupakan beberapa contoh bagaimana kemudian ikatan sisterhood mulai terkikis di antara sesama perempuan. Dan Jika hal ini kemudian dibiarkan  terus-menerus bukan tidak mungkin perempuan justru menciptakan pekerjaan rumah sendiri dalam gerakannya dengan melawan sesama perempuan.
*ERA 4.0: Â MEMBACA PELUANG DI ANTARA JERATANÂ