Dani pun memulai menuliskan sebuah nama lagi. Di atas batu nisan yang pagi ini hendak ditanam di sebuah kubur seorang profesor. Profesor terkenal yang selalu disanjung dengan gelarnya di acara akademis.
Pernah suatu waktu profesor itu emosi, karena panitia salah menyebut gelar. Bahkan seusai acara profesor itu mengancam tak mau lagi mengisi kuliah terbuka. Ia beralasan penghargaan seseorang pada pendidikan dan pengetahuan adalah paling tinggi derajatnya.
Panitia telah memohon maaf, namun rupanya peristiwa itu terulang kembali dan membuat jantung profesor memacu darah emosi berlebihan. Pagi itu sebuah berita merebak, seorang profesor meninggal di atas podium saat memberikan kuliah umum. Sekali lagi tetangga berkumpul untuk melaksanakan prosesi pemakaman. Mereka berbaur antara yang berpendidikan dan yang putus sekolah. Tujuannya satu, segera memakamkan jenazah di pekuburan.
Kubur profesor itu telah menggunung. Dua batu nisan menancap di kedua ujung. Nisan bertuliskan nama tanpa gelar. Sebab kematian tak memerlukan gelar dan tak pandang gelar.Â
Tak perlu menyalahkan siapapun. Hidup memang misteri. Kemarin adalah sejarah. Esok adalah harapan. "Tak perlu menunggu kaya untuk bermanfaat bagi sesama."
SINGOSARI, 31 Januari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H