Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Penulis Batu Nisan

31 Januari 2022   23:20 Diperbarui: 2 Februari 2022   04:01 1241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi makam.| Sumber: Pixabay via Kompas.com

Tak perlu menyalahkan siapapun. Hidup memang misteri. Seringkali cita-cita lenyap begitu saja di depan mata. Bayang-bayang putus asa seringkali singgah saat berduka. Waspada, tak selamanya kegagalan titik akhir kehidupan. Selama masih bisa berikhtiar mengapa harus suntuk? Ingat pula kita tak hidup sendiri. Ada orang lain di sekitar kita. Jangan lupakan kalimat bijak, "tak perlu menunggu kaya untuk bermanfaat bagi sesama." Esok masih ada harapan.

Suatu kali saat masih kecil, Dani pernah ditanya tentang cita-citanya. Seperti anak kecil lainnya, cita-cita adalah apa yang terlihat pada diri bapaknya. Dani ingin menjadi tentara. Berseragam doreng, gagah dan perkasa.

Hingga waktu terus beranjak, Dani lulus SLTA dan ingin mendaftar di akademi militer. Serangkaian tes dijalani. Satu mimpinya saat itu adalah menjadi tentara, seperti bapaknya. Sayangnya Dani tak lolos dalam tes akhir. Kabar meninggal bapaknya saat operasi penumpasan gerombolan pengacau keamanan justru diterima saat detik-detik terakhir. Dani tidak konsentrasi. Dani gagal. Mimpi menjadi tentara di depan mata hilang sudah. Meski tubuhnya tegak, tapi jiwanya sedang rapuh. Duka dan tangis menyerang bertubi-tubi dalam dada. Ia pulang dengan gontai. Bendera putih telah diangkat tinggi.

Setibanya di rumah, ibunya memeluk erat. Kepergian orang terkasih memang duka yang mendalam. Pelayat telah siap memakamkan jenazah. Seremoni pemakaman secara militer telah dijalankan. Dani sendiri yang menorehkan cat hitam pada nisan bapaknya. Buah tangan terakhir untuk bapaknya itu kini tertancap pada kubur bertabur bunga.

Sumber gambar https://www.bharian.com.my
Sumber gambar https://www.bharian.com.my

Pelayat yang hadir baru menyadari, tulisan yang di torehkan Dani pada batu nisan sangat rapi. Namun, nisan tetaplah nisan. Tulisan hanya sebagai penanda, bahwa pada akhirnya yang bernyawa akan mati. Setiap kematian meninggalkan kisah. Setiap kisah melekat pada sebuah nama. Seolah nisan menjadi pengingat bahwa cita-cita harus diraih, agar kematian meninggalkan jejak baik bagi yang hidup.

Semenjak kepergian bapaknya, Dani makin religius. Kegagalan masuk akademi militer tak membuatnya putus asa. Ia genggam pesan bapaknya, "Banyak cara menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama, tak selalu menunggu kaya."

"Dani, coba kamu saja yang menulis batu nisan ini," pinta pak RT ketika ada tetangga yang meninggal. Pelayat lain pun ikut menyetujui. Mereka teringat saat Dani begitu cekatan menuliskan nama bapaknya pada batu nisan.

Dani pun menorehkan huruf demi huruf merangkai nama. Kuas kecil meliuk-liuk di atas batu nisan. Sebuah nama anak manusia yang kini telah kembali pada Tuhan. Nama bagi jenazah tertutup kain putih yang tak berdaya.

Konon, semasa hidupnya, almarhum adalah hartawan yang gemar mengoleksi mobil mewah. Rumahnya di ujung gang. Rumah besar dengan garasi seluas lapangan basket. Dari rumah itulah seringkali deru mesin mobil sport meraung-raung. Tetangga tak berani menegur, apalagi kawan-kawan almarhum beberapa diantaranya dari kalangan pejabat serta aparat keamanan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun