Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pengorbanan Sumi dan Anjing Liar

22 Juli 2021   07:50 Diperbarui: 5 Februari 2024   23:34 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum sampai pada bukit berikutnya, Sumi sudah menduga hujan lebat akan turun. Ia tak mengerti apakah ini salah musim atau memang peringatan dari Tuhan. 

Sebab di musim pandemi ini banyak orang masih bertarung dengan virus yang menular, tapi tiba-tiba saja hujan dan banjir terjadi dimana-mana bagaikan musim yang buru-buru bertamu menanyakan kabar kesedihan.

Sumi ragu hari ini harus berangkat ke dusun Wonotirto, dusun di balik bukit yang bersebelahan dengan dusun Wonosari. Ia masih ingat pesan almarhum suaminya yang bekerja di kota, bahwa orang di kota sudah banyak yang bersedia untuk vaksinasi. 

Bahkan vaksinasi digelar di lapangan sepak bola, di aula kampus serta ada pula yang dilakukan dengan cara door to door atau mengunjungi rumah satu persatu. Berbekal wasiat suaminya itulah semangat Sumi yang semula kendor menjadi kencang kembali.

"Ini kan masih hari Tasyrik Sum, mbok besok-besok saja, lagipula apakah ada berita dusun ini mendapat jatah vaksin?" tanya mbah Sukarjo yang tak lain ayah Sumi sebelum anaknya semata wayang itu berangkat ke dusun sebelah.

Sumi tak menghiraukan saran bapaknya. Ia gigih ingin mengabarkan ke penduduk dusun bahwa ada vaksin untuk penduduk dusun. 

"Sebentar lagi akan tiba di dusun ini, sebab di kota-kota sudah ramai dan mungkin akhir bulan sudah selesai" demikian yang dikatakan Sumi kepada warga yang dijumpainya.

"Kamu ini kok ngotot memberi kabar vaksin apa sudah menjadi pegawai puskesmas to Sum?" seorang pemuda yang seumuran sempat menanyakan kegusarannya.

"Aku tak mau warga dusun ini mati sebelum divaksin, ini pesan Kang Mardi suamiku sendiri mas" jelas Sumi menggebu-gebu. Hatinya selalu tertusuk pedih mengingat suaminya yang meninggal terserang virus. 

Bahkan sampai hari ini ia belum mengunjungi makam suaminya. Satu-satunya pesan dari kerabatnya di kota bahwa Kang Mardi dimakamkan di pemakaman Keputih Surabaya. Pemakaman khusus untuk korban virus.

Meskipun begitu, Sumi tetap gigih untuk menyampaikan wasiat suaminya, bahwa warga dusun Wonosari dan sekitarnya juga berhak mendapatkan vaksin. 

"Lalu bagaimana caranya?" Sumi sempat bertanya dalam hati apa yang akan dilakukannya. Apalagi jarak puskesmas yang jauh serta medan jalan yang belum sepenuhnya beraspal.

Tak mungkin ia memaksa pihak puskesmas untuk memberi kabar tentang vaksin. Apalagi mereka tentu juga punya tata cara serta jadwal melakukan kegiatan vaksin. 

Biarlah puskesmas sibuk dengan urusan mereka. Sumi hanya ingin menyampaikan wasiat Kang Mardi ke warga dusun.

Seperti siang ini, Sumi tetap ingin mengabarkan kepada penduduk dusun sebelah. Dusun Wonotirto yang berada di balik bukit. 

Tapi tiba-tiba mendung tergambar gelap di langit. Jalan setapak yang masih dikelilingi hutan itu tak membuat gentar semangat Sumi. "Nanti pasti akan sampai juga," gumam Sumi.

Setibanya di dusun Wonotirto, Sumi segera mengetuk pintu salah satu warga. Satu persatu rumah warga yang jaraknya berjauhan itu disambanginya. 

Ia ceritakan bagaimana virus di kota telah merenggut banyak nyawa. Kini ada vaksin yang bisa diberikan kepada manusia untuk mengurangi dampak virus.

"Ah, di tivi-tivi itu lo habis vaksin meninggal dik Sum, nanti yang tanggung jawab siapa?" salah satu warga dusun menyanggah. Namun begitu Sumi tak kekurangan akal. Ia menceritakan kisah almarhum suaminya yang belum sempat vaksin dan meninggal oleh virus.

Begitu pula warga berikutnya, ada yang belum percaya tentang vaksin. "Lha nanti kalau istriku lumpuh gimana Sum, di berita-berita itu ada yang habis vaksin langsung lumpuh lo Sum."

"Kapan to Sum jadwal vaksin di dusun Wonotirto, puskesmas aja nggak pernah turun ke sini kok kamu ngeyel aja."

"Sum, vaksin itu buatan luar negeri, itu belum tentu cocok untuk rakyat Indonesia."

"Mati urip wis ono sing ngatur Sum, wayahe mati lha yo mati." (Mati hidup seseorang sudah ada yang mengatur, waktunya mati ya mati)

"Nyatanya masih banyak yang terserang virus, harusnya segera disuntik semua penduduk Indonesia, lha apalagi warga dusun sini Sum"

"Wah kamu apa mau nyalon kepala desa to Sum? kok rajin mengunjungi warga dusun?"

Beragam tanya dan sanggahan menombak telinga Sumi. Meski hatinya masih bersemangat, tapi lama-lama luluh juga. Satu orang dikeroyok ratusan kepala keluarga tentu hal berat. 

Apalagi ini tanpa embel-embel apapun. Ini pengorbanan di saat hari raya kurban. Ini hanya menjalankan wasiat Kang Mardi, hibur Sumi di saat azan zuhur berkumandang.

Ia berteduh di gardu pos dekat sebuah menara BTS yang memancarkan sinyal untuk ponsel ke seluruh dusun Wonosari, Wonotirto dan Wonodadi.

"Mungkin gara-gara menara BTS ini semua penduduk mendapat berita palsu dari kota" gumam Sumi seraya memandangi bagian kaki menara hingga ke puncaknya yang berkedip-kedip lampu merah seperti ambulan.

"Tapi kalau tanpa menara BTS ini, aku tak akan bisa menyimpan alamat makam Kang Mardi, dan aku tak bisa menjalankan wasiat Kang Mardi" buru-buru Sumi mengelak atas pernyataan sebelumnya.

"Aku harus tetap berjuang, meski hanya seekor anjing liar yang mau mendengar" gigih Sumi tak henti.

Sejam berlalu mendung masih gelap. Hujan masih lebat. Hawa dingin menusuk tubuh Sumi yang berbalut daster dan berkalung sarung milik almarhum suaminya. Ia mendekap dadanya sendiri mengusir gigil yang mencoba mengusiknya.

Harapan Sumi memang masih kurang satu dusun lagi yang akan diberikan kabar tentang vaksin. Tapi tiba-tiba saja ia teringat bapaknya yang sendirian di rumah. 

Sumi juga belum sempat memasak daging kurban pemberian musholla. Daging kambing yang bisa ia nikmati setahun sekali. Namun hujan terus mengguyur dusun seolah menahan keinginan Sumi.

Di lebatnya hujan, seekor anjing liar berlari kecil mendekati pos. Tubuhnya kuyub, anjing liar di dusun selalu begitu nasibnya. Berbeda dengan anjing yang dipelihara warga, pasti sudah meringkuk di teras. Minimal mereka terhindar dari basah kuyub yang menggigilkan.

Anjing itu kini sudah satu atap berteduh di gardu pos bersama Sumi. Anjing itu mengibaskan tubuhnya untuk mengurangi kuyub di bulu-bulunya. Satu kibasan melontarkan percikan air kemana-mana. Bahkan terlampau jauh mengenai wajah Sumi.

Sumi terkejut dan menyadari ada anjing yang ikut berteduh bersamanya. Seperti doa yang dikabulkan Tuhan mendadak ia teringat dengan sepatah kata yang terucap sebelumnya. Sumi pun segera memberikan kabar bahwa segera ada vaksin untuk warga dusun.

Dalam hati kecilnya ia menduga mungkin sudah gila. Bicara dengan anjing liar. Tapi ini melunasi janji sebelumnya, "Hemmm, lunas" senyum Sumi kepada anjing liar itu.

Di remang senja, hujan yang belum reda itu membuat warga desa malas beraktivitas. Rumah-rumah mulai menutup pintunya. Lorong jalan dusun seperti membelah hutan berkabut di masa lalu. Kerlip-kerlip lampu menghiasi di kanan kiri jalan dusun.

Sumi masih tertahan di gardu pos dekat menara BTS. Ponsel-nya sudah kehabisan baterai. Ingatan wajah bapaknya yang kelaparan masih tertanam di benaknya. 

Ia sudah memberikan kabar tentang vaksin kepada ratusan kepala keluarga. Ia sudah tunaikan pernyataannya sendiri kepada anjing di dekatnya, bahwa vaksin akan segera tiba di dusun ini. Ia berharap tak ada warga dusun seperti Kang Mardi yang meninggal sebelum sempat menerima vaksin di Kota.

Sementara anjing itu hanya duduk memandangi Sumi. Ekornya mengibas-ibas seperti siap menjadi pengawal Sumi. 

Entah mengapa seluruh bulu kuduk Sumi merinding. Sumi baru teringat bahwa tatapan anjing itu sangat mirip dengan tatapan almarhum Kang Mardi, begitu tulus dan penuh pengorbanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun