"Hoeeek.....hoeeekk....., mas tolong pindah mawarmu itu ke belakang rumah, aku mual mencium baunya"
Mulai hari itu aku tak lagi merawat kuntum mawar di teras. Setidaknya meredam rasa mual istriku. Lagi pula halaman belakang rumah jarang kusinggahi, rumput liarnya sudah tinggi.Â
Tapi bukan itu perkaranya, halaman belakang rumah begitu rindang. Sehingga ketika menyirami kuntum mawar seringkali tanpa sengaja jemariku tertusuk duri. Padahal sudah sangat berhati-hati.
Suatu pagi istriku kembali menanyakan, "Gimana mas apa sudah berbunga mawarnya?"
Aku hanya menggeleng. Kutunjukkan dua jari yang membekas luka tusuk duri. Masih terasa perih saat digunakan untuk mengetik di keyboard laptop.
"Tertusuk duri ya?"
"Sangat perih" jawabku sambil meringis.
"Tapi mas masih memegang janji kan?"
"Janji?" mataku membelalak lalu mengangguk pelan.
"Kok ragu sih?"
"Ya..ya..masih"
"Kok sewot?"
-----*****-----
Saat tugas kantor menumpuk, tak terasa seminggu berlalu kuntum mawar jarang kusirami lagi. Sempat kubayangkan betapa rumput sudah tinggi, mungkin juga kuntum mawar itu sudah mati.Â
Ternyata tidak, saat kuluangkan waktu melihat kuntum mawar kondisinya masih segar. Mungkin karena beberapa hari ini gerimis mengguyur. Kucabuti beberap rumput kecil yang mengelilingi kuntum mawar, namun...
"Aduh kena lagi......ssssss perihnya" kali ini punggung telapak tangan yang tergores duri.Â
Aku segera balik ke rumah. Tak lagi menggubris kuntum mawar. Perlahan juga melupakan janji tentang bunga mawar. Demikian juga soal saran istriku bahwa kuntum mawar bisa diajak berbicara.
Bisa bicara? entahlah. Pikiranku penat, capek ingin tidur. Sebersit niat melintas. "Lupakan kuntum mawar! berbunga atau tidak terserah! Lupakan semua."