Berharap ada keajaiban bisa menumbuhkan bunga mawar. Namun, nampaknya sia-sia. Dua hari kemudian kuntum mawar itu mengering batangnya dan mati. Gagal lagi.
"Nah, mati lagi kan?" istriku buru-buru menilai.
"Ya dik, kenapa ya?" aku masih penasaran dan bingung dengan hal ini.
"Cobalah bicara dengan kuntum mawar mas" celetuk istriku.Â
Dahiku mengernyit. Sepertinya ide cerdas, meski agak tahayul menurutku.
"Apa mawar punya telinga?"
"Aku pernah dengar cerita bahwa tumbuhan bisa diajak bicara" imbuh istriku.
"Bicara?" kupegang dahi istriku. "Kamu waras dik?"
Istriku sewot, bibirnya manyun, "Coba dulu, namanya juga sama-sama ciptaan Tuhan."
Ciptaaan Tuhan? mendadak pikiranku seperti terhubung antara kondisi istriku yang selama ini belum pernah hamil dengan kuntum mawar. Sejenak sebuah tanya ada di benakku. Kembali lagi aku tertohok pada situasi bahwa takdir sepertinya tak memihak kepadaku. Ah, lupakan. Aku kembali menghibur diri.
Pada kuntum mawar yang baru kubeli dari pasar bunga coba kuturuti saran istri. Mulutku komat-kamit, "Wahai kuntum mawar, tumbuhlah bunga mawar yang indah, semoga kelak jika aku punya anak akan kunamakan Mawar."
"Amin" tiba-tiba istriku menyahut.
"Apa kamu mendengarnya dik" tanyaku.
"Nggak dengar. Tapi aku yakin pasti kau bicara tentang harapan"
Tak terasa dadaku bergetar, setitik air mata berlinang. Bibirku bergetar mengucap lirih, "Tumbuhlah Mawar cantikku, sudah lama aku menunggumu" sambil menahan dada yang semakin sesak.
-------- ***** -------
"Hooeeek" sebuah suara yang tak pernah kudengar dari istriku selama ini. Istriku mengira hanya masuk angin biasa. Belum sempat minyak kayu putih kusodorkan padanya kembali ia mual sambil memaksaku untuk memindah kuntum mawar.