Hanya orang konyol saja yang masih ingin keluar rumah di saat cuaca ekstrem seperti ini. Tentu keyakinan Sandra semakin kuat bahwa Rendi tak mungkin pulang. Apalagi masih banyak tempat-tempat hiburan yang mulai buka malam. Minum minuman keras. Bersenang-senang dengan perempuan nakal, atau melampiaskan kemarahan entah dengan apa dan di mana.
Sampai malam menjadi dewasa, Sandra membiarkan jendela di kamarnya terbuka. Angin malam silih berganti bertamu padanya. Tubuh ringkih berjaket itu akhirnya terbaring lemah di atas tempat tidur. Matanya terpejam sedang sibuk membuka pintu mimpi.
Dalam mimpinya, Sandra bertemu dengan bilik-bilik yang menyimpan kenangan semasa kecilnya. Ia jumpai teman bermainnya saat di kampung. Teman itu masih membawa tali karet yang selalu menjerat kaki Sandra saat bermain lompat tali.
Ada juga teman sekolahnya bernama Didik. Teman beda kelas ini dulu naksir berat dengan Sandra. Tapi, sayang perangainya buruk. Selain terlalu posesif, Didik juga selalu memaksa Sandra untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Jika tidak mau, maka Didik akan memukul kening Sandra dengan buku pekerjaan rumah.
Di bilik itu pula Sandra baru menyadari bahwa selama ini Ibunya hanya melampiaskan amarahnya saat ayah pulang dalam kondisi mabuk berat. Ibu sudah kehabisan kata-kata. Mungkin juga ibu sudah sering menerima pukulan dari ayah. Keluarga macam apa ini? Sandra tertegun dan menutup bilik itu rapt-rapat. Ia tak ingin melihat kenangan buruk saat ayahnya menyumpal mulutnya dengan kain hanya gara-gara tagihan SPP sekolah.
Justru yang menyakitkan hati Sandra adalah ketika bilik kenangan semasa kuliah, dimana Riko yang menjadi pacarnya saat itu hanya obral janji  untuk menikahinya. Nyatanya beberapa kali Riko melampiaskan syahwatnya. Merenggut keperawanan serta membuang cinta begitu saja usai seremonial wisuda. Alasannya sederhana, sudah tidak ada kecocokan lagi.
Tubuh Sandra kian beku. Malam kian gigil. Pagi segera mengambil alih waktu dan kesempatan. Sebelum terbangun, Sandra terhenti pada bilik mungil. Bilik yang masih baru. Masih basah seperti baru dibangun. Di dalamnya terlihat Johan berteriak minta api dipadamkan. Sebaliknya api kian membara dan mengembanglah senyum Sandra.
Pada bagian bilik terakhir, terdengar desis seperti suara ular yang sedang sigap. Sandra tak paham kenangan apa yang terjadi dibilik itu. Ia tak merasa memiliki kenangan yang demikian menakutkan, menjijikkan serta mengejutkan.
Boleh jadi karena hatinya hancur. Jiwanya tercerai berai. Cintanya terluka. Beban perempuan yang teramat berat. Semua kenangan telah dijalani. Tapi, bilik terakhir ini tiba-tiba terpampang begitu saja di hadapannya. Mengejutkan sekali, hingga tubuhnya kaku tak bergerak. Kulitnya mulai bersisik. Matanya memerah. Senyumnya sinis nampak gigi-gigi kecil yang runcing.
Di bilik yang terakhir itu sebuah bayangan merah menyala mendekati Sandra, "Ambilah api ini, bakar semua bilik kenanganmu. Sekarang!" pinta bayangan itu.
Sandra meraih api itu. Kini tangan perempuan  itu bagai obor yang berkobar-kobar. Ia bakar satu-persatu bilik kenangan itu hingga membara hebat lalu menyisakan abu dengan kepulan asap mengangkasa. Semakin berkobar apinya semakin mendesis suara dari mulutnya. Lidah Sandra menjulur-julur seperti ular. Mendesis lagi. Membakar lagi dan seterusnya.