Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki Hidung Belang yang Menipu Keluarga Bodoh

29 Mei 2021   15:57 Diperbarui: 29 Mei 2021   21:03 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://3.bp.blogspot.com

Sejak kemarin Gimun bingung memikirkan anaknya yang nakal. Anak satu-satunya itu tidak mau pulang. Alasannya sederhana, di rumah tidak ada kulkas, sehingga ketika haus tidak bisa minum air dingin. Gimun masih bingung cara mengatasi anaknya yang nakal itu. Segala hukuman sudah pernah diterapkan. Tapi anak itu tetap bengal. Kali ini malah tak mau pulang.

"Mbok ya dicari dulu di pos kamling Pak, siapa tahu Giono ada disana" saran Ginah saat mengetahui suaminya hanya merenung diatas lincak (semacam dipan dari bambu). Gimun tak menghiraukan pinta istrinya, menurutnya percuma mencari Giono kesana-kemari. Kenakalan Giono itu tak ada bedanya dengan istrinya, keduanya nakal. "Kalau anak baik-baik akan saya cari, tapi kalau anak nakal buat apa dicari?" gumam Gimun membenahi pikirannya yang ruwet.

Gimun tahu riwayat Ginah yang mantan pelacur itu. Perempuan di desa Watu Ireng memang melimpah, tapi rata-rata mereka bekerja sebagai PSK di lokalisasi. Mereka bukan perempuan asli desa Watu Ireng, mereka pendatang yang akan pulang ke asal ketika sudah tua. Hanya Gimun saja seorang lelaki yang sudi menikahi Ginah karena menuruti kemauan ibunya yang juga mantan pelacur. Kata ibunya, "Menolong pelacur juga mendapat pahala, sebab ia telah mengentas pelacur dari kemaksiatan." Gimun akhirnya menikahi Ginah yang saat itu sedang gila dan belum waras. Gimun tak ada urusan dengan kata-kata ibunya tentang pahala dan kemaksiatan. Besar di lokalisasi PSK memang tidak ada yang ditutup-tutupi.

Muasal Ginah mengalami depresi dan gila karena tak kuat menahan gejolak amarah. Ia sangat kecewa. Pasalnya sudah kerja siang malam melayani tamu tapi hutangnya kepada germo tak pernah lunas. Sewa kamar selalu minta tambahan, belum lagi tukang cuci sprei juga minta tambahan honor. Praktis Ginah hanya terima uang sekedar untuk beli bedak, pensil alis, lipstik, pembalut, nasi bungkus dan es teh dibungkus plastik kesukaannya. Lalu untuk sabun mandi, sabun cuci dan keperluan lainnya bagaimana? "Ya ngutang lah! kita ini hidup apa kata tamu, kalau ada tamu hutang dibayar, kalau sepi tamu ya ngutang lagi. Beres kan?" demikian para pelacur itu serentak menjawab soal nasib hidup.

Tak hanya itu saja, Ginah mendadak gila konon disebabkan oleh salah satu tamu yang menyebalkan. Dari sekian lelaki hidung belang yang rajin menjamah tubuhnya hanya Sukarman yang punya permintaan aneh-aneh. Bahkan pelacur lain tak sudi melayani Sukarman. "Dia itu lelaki bokek tapi gayanya kayak sultan. Mintanya aneh-aneh, yang beginilah yang begitulah, memangnya dia mau nambah duit berapa? Nggak sudi aku melayani dia" seru pelacur lain saat tahu Sukarman sedang hilir mudik mencari pengganti Ginah yang mendadak gila itu.

Kembali ke Ginah. Saat itu kondisinya sudah gila. Usia juga mulai mendekati kepala empat, tubuh tak terawat, rambut acak-acakan, bau badan menguar  dan tak ada tamu yang sudi memilihnya untuk melampiaskan syahwat. "Mana ada tamu yang mau sama pelacur gila" kata Sukarman saat itu.

Uniknya, setiap Ginah sendirian di kamar, Sukarman pura-pura lewat sambil melirik Ginah. Dada Sukarman diam-diam  merasakan getar yang selama ini belum ditemukan penawarnya. Sukarman jadi salah tingkah sendiri. Pernah salah satu pelacur memergoki Sukarman yang sedang mengintip Ginah dari balik dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Tapi bukan Sukarman jika tak pandai berkilah, "Ah, aku hanya ingin tahu, sebenarnya pelacur gila itu sama nggak ya dengan perempuan gila lainnya" kilahnya dengan santai.

Kini Ginah sudah menikah dengan Gimun seorang lelaki yang tak pernah sekolah gara-gara ibunya tak mampu menyekolahkan. Kamu percaya masih ada orang tua beralasan tak mampu menyekolahkan anaknya di saat sekolah gratis? Realitanya bukan itu alasan Gimun tak pernah sekolah. Sebenarnya Gimun adalah anak yang nakal, bandel dan suka hal-hal yang aneh-aneh, bisa dibilang menyukai klenik. Sementara ibunya dulu membesarkan Gimun di lingkungan lokalisasi PSK. Siapa yang sudi merawat anak nakal? jangankan tetangga, saudaranya di sebelah desa juga tak sudi. Sebab Gimun tidak jelas siapa bapaknya.

Namun, ada satu alasan yang selalu diingat oleh Gimun. Saat remaja ia pernah menanyakan siapa bapaknya. Ibunya hanya menjawab ketus, "Satu-satunya bapakmu yang saat ini tak banyak tingkah ya batu hitam di tepi sungai itu."

Gimun lantas mencari batu hitam di tepi sungai sebagaimana dimaksud ibunya. Sebuah batu besar yang permukaannya datar, rata seluas ranjang. Batu hitam itu teronggok diantara rerumputan yang tingginya selutut dan diramaikan oleh gemercik sungai.

Gimun memandangi batu hitam itu dan merasakan getaran yang belum pernah dirasakan. "Apakah benar ia bapakku?" bisiknya dalam hati. Sejak saat itu Gimun percaya dan mencari tahu ada apa dengan batu hitam di tepi sungai. Salah satu sesepuh desa pernah bercerita bahwa dulu pada puluhan tahun silam di tepi sungai sering dijadikan tempat pelacuran. Kini saat modern, lokasi pelacuran dipindah dan dibuatkan bangunan-bangunan semi permanen. Sebuah papan nama menandai pelacuran itu dengan nama "Lokalisasi PSK Watu Ireng"

----- *****-----

Sore itu Giono belum pulang. Ginah sebagai ibunya menjadi cemas. Meskipun mantan pelacur gila, kini ia berangsur-angsur menjadi perempuan yang sedikit waras, hanya sedikit konsleting saja kata tetangga. "Lumayan sudah agak nyambung kalau diajak bicara" kata salah satu tetangganya. Oleh karena itu Ginah memaksa suaminya untuk mencari anaknya. Disuruh pulang, jangan dimarahi.

"Pak, mbok ya dicari to kemana Giono kok sampai sore begini belum pulang" saran Ginah kepada suaminya yang dari tadi pagi hanya duduk-duduk saja di lincak.

"Kamu ini memang gila Ginah, anak nakal kok dicari, aku nggak sudi mencari anak nakal. Aku sebagai bapaknya saja patuh kepada ibuku, masak dia nggak patuh sama kamu" jawab Gimun seraya beranjak dari lincak menuju kamar.

Ginah menyusul Gimun masuk ke kamar. Mereka berdebat tentang Giono anak satu-satunya yang nakal dan tak mau pulang. Sebagai tukang serabutan, tentu Gimun tak sanggup memenuhi permintaan anaknya untuk beli kulkas. Apalagi Giono sering minta air dingin ke beberapa tetangga. "Jadi buat apa beli kulkas, kan tetangga masih bisa memberi air dingin?" kilah Gimun saat istrinya terus mendesak beli kulkas.

"Makanya jadi orang itu pernah sekolah, jangan mau dibodohi terus-terusan, beli kulkas bekas kan bisa!" timpal Ginah tak mau kalah. Merasa tersinggung Gimun malah menyalahkan anaknya. "Ah sudah...sudah, aku muak dengan kulkas. Gara-gara anakmu itu aku jadi ikutan gila."

"Gila gimana? memang kita ini gila semua Pak! mana ada manusia yang waras?" Ginah membalas sengit. 

Perdebatan terus bersahutan tak bertemu titik temu. Maklum, yang satu bodoh dan yang satunya lagi baru sembuh dari gila. Hingga saat malam beranjak dewasa kedunya kelelahan. Sayup-sayup terdengar suara cekikikan dari dalam kamar, dilanjutkan suara mendesah yang tak begitu jelas.

Esok paginya, saat mentari naik ke siang, kedua makhluk itu masih tertidur. Pintu rumah dalam kondisi terbuka. Secercah sinar mentari menerobos ruang tamu yang hanya terisi tikar dan lincak. Sinar mentari itu menangkap sosok lelaki yang sempoyongan masuk ke dalam rumah. Ya, siapa lagi dia kalau bukan Giono. Anak nakal yang semalam diperdebatkan oleh orang tuanya.

Giono ambruk di tikar itu. Wajahnya pucat pasi. Baunya menyengat tidak pernah mandi dan matanya sangat lengket. Kantuk berat atau mabuk? Entahlah, sulit dibedakan.

"Pak anak kita pulang" seru Ginah saat hendak menuju ke halaman depan rumah. Mendengar suara girang istrinya saraf kesadaran Gimun memuncak. Ia bangkit dan menuju ke anaknya yang sudah terlentang diatas tikar dan mendengkur dengan nada oktaf.

"Besok kucarikan orang pintar, agar anak ini tidak nakal. Siapa tahu bisa disuwuk atau diobati. Aku yakin dia terkena guna-guna" kata Gimun mencoba mencari solusi atas kenakalan anaknya itu.

-----*****-----

"Kalau anakmu nakal lagi, sebaiknya dihukum saja. Anak sekarang tidak sama dengan kita dulu yang patuh dan takut dengan orang tua. Anak sekarang memang nakal-nakal. Hukum saja!" saran orang pintar yang dipanggil dengan nama Ki Dukun.

"Anu Ki Dukun, E...anu, saya sudah menghukum anak saya. Tapi, ya masih saja nakal" jelas Gimun.

"Kembalikan saja ke rahim ibunya. Suruh ibunya merawat dengan baik saat masih di rahim nanti. Kasih makanan yang enak. Dengarkan suara bapaknya yang suka nembang. Kalau mau tidur di elus-elus perutnya," jelas Ki Dukun.

"Tapi anak saya kan sudah besar, gimana cara mengembalikan ke rahim ibunya?" tanya Gimun keheranan.

"Goblok! kamu kan bisa membuat semacam ruangan seperti rahim ibunya, pakai tembok kek, dicor semen kek, pakai gedhek (anyaman bambu) atau apa saja sebisamu. Pokoknya hukum anak itu. Kurung dalam rahim itu sampai jera" jelas Ki Dukun dengan mata melotot.

Gimun buru-buru pamitan dan segera membangun bangunan rahim seperti yang disarankan Ki Dukun. Ia dibantu dengan beberapa tetangga membangun bangunan rahim itu. Sementara Giono masih belum bangun. Mimpinya berkeliaran entah ke ujung mana.

Saat membangun bangunan rahim itulah Sukarman datang dan menyarankan agar pintu masuk rahim dibuat persis dengan (ma'af) liang peranakan ibunya. Gimun yang bodoh itu mengangguk-angguk dan mencoba mencari tahu bagaimana cara membuat ukiran mirip liang peranakan istrinya.

Alhasil atas saran Sukarman, akhirnya Ginah bersedia menjadi model pintu masuk rahim. Ginah duduk (ma'af) mengangkang di dekat bangunan rahim yang sedang dibangun itu. Satu-satunya orang yang bersedia mengukir pintu masuk adalah Sukarman. Tetangga yang semula membantu ijin pulang tak tahan melihat pemandangan yang mengandung birahi.

Seolah seperti seniman pemahat patung, Sukarman bersemangat mengukir bentuk liang peranakan itu. Matanya liar menatap pemandangan Ginah. Buah jakunnya naik turun menelan ludah melihat kemolekan Ginah meski sudah berkepala empat. Ginah yang tak lagi mengenali Sukarman hanya pasrah dan menuruti perintah suaminya.

Setelah bangunan rahim jadi, Giono digotong dan dijebloskan ke dalam bangunan itu. Gimun berterima kasih kepada Sukarman yang telah membantu dalam segala hal. Kini Gimun tinggal menunggu waktu bagaimana reaksi anaknya, apakah ia akan tetap nakal atau berubah menjadi anak baik. Gimun berharap rahim yang mirip penjara ini menjadi hukuman bagi Giono agar tidak nakal lagi.

-----*****-----

Beberapa hari kemudian saat kokok ayam jantan menggema.

"Pak maafkan Giono, aku tak akan nakal lagi" teriak Giono pada suatu pagi.

Mendengar teriakan itu Gimun bahagia. Saran Ki Dukun sangat manjur. "Giono sudah menjadi anak baik, gumamnya yakin. Gimun bergegas menuju bangunan rahim dan membuka gembok pintu di sisi belakang.

"Loh kok lewat belakang? Katanya rahim, bukannya pintu keluar anak dari rahim di depan?" mungkin kamu akan bertanya seperti itu kan? Lanjutkan saja. Kamu akan mengerti nantinya. Baiklah, diteruskan ceritanya ya!

Giono dibopong keluar. Ia dimasukkan ke dalam rumah. Giliran Ginah sebagai ibunya ingin memastikan bahwa anaknya menjadi seorang anak yang baik.

"Apa yang kamu alami selama di rahim sana sehingga ingin menjadi anak baik?" tanya Ginah penasaran.

"Di dalam sana saya bertemu malaikat Bu. Tangannya membawa lampu bersinar. Malaikat itu mengaku bernama malaikat Sukarman Bu" cerita Giono kepada ibunya.

"Lalu bagaimana anakku?" tanya Ginah bersemangat.

"Kata malaikat Sukarman, bahwa anak nakal itu biasanya disebabkan oleh kenakalan bapaknya. Oleh karena itu bapaknya harus menemui malaikat di lorong pemakaman desa" lanjut Giono.

Mendengar penjelasan itu sontak wajah Gimun berbinar-binar. Ia segera minta tolong kepada tetangganya untuk membuat lorong di pemakaman desa. Tapi semua tetangga enggan membantu keperluan Gimun tersebut. "Hanya orang sinting yang mau dikubur hidup-hidup" kata tetangga Gimun.

Akhirnya datanglah seorang lelaki sambil membawa lampu ke rumah Gimun. Di dalam rumah Gimun terjadi percakapan yang merencanakan membuat lorong di pemakaman desa. Malam itu juga seorang lelaki itu menggali lorong yang mirip kuburan. Sementara Gimun dengan anak istrinya menyaksikan di bawah temaram bulan.

"Silahkan masuk Pak Gimun, semoga anda bertemu malaikat Sukarman" pinta lelaki itu.

Gimun segera masuk dalam liang itu. Papan-papan kayu sebagaimana digunakan untuk pemakaman menutupi tubuh Gimun yang terbaring. Suara debum tanah kuburan menguruk papan-papan kayu semakin kencang. Bahkan saking kencangnya suara Gimun minta tolong tak terdengar jelas.

"Toloooong, toloooong" teriak Gimun dari dalam liang.

"Pak, sepertinya saya mendengar ada suara minta tolong, apakah itu suara suami saya?" tanya Ginah.

"Bukan minta tolong bu, itu suara Pak Gimun saking girangnya menemui lorong, berarti Pak Gimun sudah bertemu malaikat Sukarman" jelas lelaki itu sambil memadatkan tanah yang menimbun tubuh Gimun.

Usai peristiwa itu, tak ada percakapan yang terjadi lagi. Hanya suara jangkerik yang meratapi malam jahanam. Lelaki yang membantu menggali liang itu pun mengantar Ginah dan Giono pulang sampai di pelataran halaman rumah. Sebelum berpamitan, lelaki itu berpesan kepada Ginah di bawah temaram rembulan.

"Jika di malam ketujuh suamimu belum pulang, itu artinya pada malam kedelepan suamimu akan berubah wujud dan menemuimu di halaman ini. Maka, saat itu terimalah ia sebagai suamimu yang bisa membimbing anaknya agar tidak nakal kembali." Lalu lelak itu membalikkan badan dan melangkah di tengah himpitan gulita malam.

Malam ketujuh tiba. Ginah berharap suaminya tidak pulang, ia sangat berharap esok malam sebagai hari kedelapan, dimana ia akan bertemu dengan suaminya. Semakin malam perasaan Ginah semakin gelisah. Ia tidak bisa tidur. Malam beranjak dewasa. Hening merayap di sekeliling rumah itu. Kecuali, seorang lelaki yang mengintip dari luar. Matanya sibuk mencari celah-celah dinding bambu. Ia mengintip kegelisahan Ginah yang malam itu tak bisa tidur. Pada temaram bulan, samar-samar senyum lelaki itu tersungging jahat.

"Besok kau jadi istriku Ginah. Aku sudah lama menunggumu. Semoga kamu masih gila dan liar seperti dulu" bisik lelaki pengintip itu lirih.

-----*****-----

"Bapakmu sudah pulang Giono, kamu jangan nakal lagi ya" seru Ginah membangunkan Giono yang sehari-hari hanya tidur-tiduran beralas tikar.

Giono membuka matanya perlahan, agak kabur pandanganya. Tapi ia teringat betul siapa wajah lelaki di hadapannya itu. Lelaki yang mengaku malaikat Sukarman beberapa waktu lalu. Lelaki itu nampak tersenyum puas sampai terlihat deretan giginya. Memang lelaki itu tak terlihat taring maupun mata yang merah menyala, ia manusia biasa, tapi jahatnya melebihi iblis.

"Kau memang anak nakal" bisik Sukarman mengaum di telinga Giono.


SINGOSARI, 29 Mei 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun