Pelayan itu pamit undur diri dan melayani tamu lainnya. Amran kembali sibuk membaca beberapa coretan puisi sambil bermain gitar. Ia nikmati kesepian di sudut cafe. Ia pria penunggu sejati. Ia penyair yang tak punya lelah.
"Maaf tuan, mengganggu" sebuah suara lembut menyelinap di telinga Amran. Hatinya berdesir. Bahkan matanya belum sempat menatap sumber suara itu. Suara perempuan yang menghentikan petikan gitarnya.
Amran mengarahkan pandangan pada sumber suara. Ia terkejut bukan kepalang. Kali ini jelas terlihat hentakan tubuhnya. "Terima kasih Tuhan" gumam Amran dalam hatinya bersorak girang.
Perempuan yang pernah hadir dalam acara bedah buku itu sekerang sudah duduk di hadapannya. Amran seperti lega, puas dengan keteguhan hatinya dalam menunggu. Begitu pula pelayan cafe. Ia berseloroh kepada rekannya "Habis ini aku sudah tidak ditanya perempuan itu lagi, akhirnya....huft"
Siang itu Amran bercakap-cakap santai dengan perempuan yang telah ditunggunya selama sebulan. Sesekali Amran terlihat canggung, tangannya memegangi kerah baju yang sebenarnya sudah rapi. Ia juga sering melepas kacamata, lalu mengenakannya kembali dengan singkat. Bahkan untuk urusan ke belakang sekedar buang air kecil pun menjadi terhenti. Tak seperti biasanya ia pamit ke toilet untuk buang air kecil.
Sampai senja perempuan itu akhirnya pamit. Ia memberikan setumpuk kertas diatas meja. Amran membungkukkan badan serta tangkas mencium punggung telapak tangan perempuan itu. Mirip Giacomo Casanova. Perempuan itu tersipu dan melenggang dengan anggun meninggalkan segala girang di hati Amran.
Tak seorang pelayan pun mendekatinya. Mereka takut mengganggu kegembiraan Amran. Mereka juga takut Amran tak kesini lagi, nanti cafe-nya bisa sepi. Semua hanya mengamati Amran dari jauh. Amran memetik gitar lagi. Kali ini suaranya keras. Diselingi bait-bait puisi yang ia baca dengan sesengguk tangis.
Suasana cafe tiba-tiba berubah sepi. Semua mata pengunjung tertuju pada Amran. Ia tetap tak beranjak dari kursinya. Kombinasi lagu dan puisi yang menyayat hati seperti mengajak mata untuk meneteskan kesedihan. Nampak beberapa pengunjung mulai mengelap pipinya dengan tisu. Satu persatu yang tidak tahan segera meninggalkan cafe.
Saat petang mulai meninggalkan senja. Malam menjadi dewasa. Amran minta dibuatkan minuman jahe. "Suaraku serak" katanya.
Saat malam beranjak larut. Amran memesan soft drink. "Biarkan anganku terbang, lepas, kejap dan amblas" teriaknya. Pelayan tak berani menanyakan satu kalimat pun. Setelah menyajikan pesanan, pelayan segera pergi. Mereka hanya memandangi Amran dari meja kasir.
Saat malam semakin reyot. Amran minta sebotol bir. Pelayan yang mulai mengantuk saling tunjuk hidung. Kemana mencari bir semalam ini? kita bukan cafe untuk mabuk-mabukan. Akhirnya salah satu dari mereka mencarikan bir untuk Amran.