Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Elegi Penyair dan Gitar Patah

20 Desember 2020   16:41 Diperbarui: 20 Desember 2020   16:42 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lain kali kalau membuat acara buatkan presensi mbak, perempuan itu seperti kukenali wajahnya, namun aku lupa dimana" saran Amran kepada pelayan.

"Ya tuan, maafkan kami, malam itu memang diluar dugaan, kami tak menduga pengunjungnya meluber" sahut pelayan seraya membungkukkan badannya.

"Ya sudah, mungkin juga salahku mbak" pungkas Amran menutup pembicaraan. Pelayan itu pun pergi dan membiarkan tamu satu-satunya menuntaskan membaca koran.

Seluruh halaman tuntas dibaca Amran. Mulai dari berita, iklan, kolom, opini hingga kontak jodoh. Sebuah kebiasaan generasi lawas yang gemar membaca koran.

"Aku suka membaca. Ya, apa saja kubaca. Apalagi karya-karya sastra. Oleh karena itu aku sangat tahu karya generasi sekarang. Aku prihatin, mengapa penulis sekarang tak memiliki esensi gagasan. Sering kutemui mereka menjiplak karya generasi sebelumnya. Hanya mengganti sedikit obyek serta narasinya. Memangnya sebagai pembaca aku nggak tahu?" kata Amran kepada pelayan.

"Berarti ingatan tuan sangatlah tajam" balas pelayan.

"Sangat tajam. Aku bahkan sering membaca karya-karya di internet yang main kutip dari berbagai tulisan. Itu penyakit yang berbahaya. Hidup adalah kemungkinan, jika ia berkarya dengan cara seperti itu, maka kemungkinan penulis itu akan menghabisi sendiri sumber gagasan di kepalanya" kata Amran dengan tegas. Sesekali ia juga membetulkan kacamatanya.

"Hidup juga pilihan, aku bertahan dengan segala gagasan untuk karya-karyaku. Bahkan aku rela menceraikan istriku hanya untuk mempertahankan karyaku" papar Amran meyakinkan.

"Oh ya tuan, maaf ya tuan. Mengapa tuan selalu menunggu perempuan itu disini?" tanya pelayan.

Seperti biasa Amran mencoba bersikap tenang. Padahal ada sedikit gerakan yang menghentak. Mungkin ia terkejut atau mungkin diingatkan kembali soal perempuan itu.

Hampir seminggu ini Amran memang rajin mengunjungi cafe yang berada di lereng bukit itu. Alasannya ia bisa memandangi pusat kota dari atas. Sekalian menunggu perempuan itu datang kembali. Perempuan yang mengalihkan perhatiannya kepada pengunjung saat bedah buku beberapa waktu lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun