Ketika pertanyaan ini terulang untuk kesekian kalinya, aku hanya tersenyum saja. Entah ini senyuman pahit ataukah sekedar basa-basi agar mereka tak bertanya lagi.
Dalam hati kecilku memang tak punya sedikitpun niatan merantau. Hidup di kampung bersama keluarga kecilku sudah sangat tenteram. Suasana kampung yang damai dan tidak berisik membuatku semakin betah.
Aku masih bisa menghirup hawa sejuk yang dihembuskan pegunungan. Air bersih dan segar juga melegakan tubuhku. Belum lagi jika pergi ke sawah, masih kulihat hamparan hijau yang meneduhkan pandangan.
"Sawahmu masih luas Jo?" tanya Mukadar.
"Alhamdulillah, semua masih seperti dulu" balasku.
"Kalau dijual separuh saja mungkin bisa untuk modal jual beli mobil Jo, aku punya teman di kota yang butuh modal bersama, nanti keuntungannya juga dibagi bersama" jelas Mukadar seraya menggeser-geser layar ponsel ingin menunjukkan sesuatu.
"Nah ini orangnya Jo, ini dagangannya, tuh mobilnya segala merk ada. Mau yang murah atau yang mahal ada semua. Jaringannya luas. Kalau kamu beruntung malah bisa dapatkan satu mobil pula" jelentreh Mukadar bersemangat.
"Aduh Dar, nggak ada bayangan kesana, lagi pula itu sawah keluarga, kalau panen juga dibagi ke keluarga" elakku sesopan mungkin.
"Nah, persis....persis seperti itu bisnisnya. Kalau kamu menyumbang modal kecil, dapatnya kecil. Tapi, kalau modalmu besar, ya....." rayu Mukadar tak putus asa. Belum selesai Mukadar bicara, buru-buru kupotong saja.
"Maaf Dar, begini saja sudah cukup, saya nikmati semuanya, nanti kalau kamu pensiun dan menghabiskan masa tua disini akan tahu rasanya" sergahku mumpung belum panjang lebar.
Mukadar hanya melirik sinis, ia kepulkan asap rokok keatas. Kepalanya ikut mendongak dan mengedipkan matanya beberapa kali. Aku tak paham apa yang sedang ia pikirkan. Apakah kalimatku menyinggung perasaannya, ataukah aku yang kuno dan ketinggalan jaman? entahlah.
"Anakmu sekarang kelas berapa?" tiba-tiba Mukadar bertanya seraya mengarahkan wajahnya kepadaku. Jantungku seperti ada yang menggedor. Jujur aku tak ingin punya anak perantau. Aku juga tak ingin keluarga kecilku akhirnya menjadi orang kota yang pulang ke kampung dengan membawa apa saja dari kota.
Buktinya, keponakan, ipar, kakak, adik dan sepupu yang merantau selalu begitu kondisinya. Aku ingin bertahan dengan apapun di kampung ini. Meski hidup bersama orang tua perantau yang dipanggil kakek maupun nenek.
"Nanti anakmu kuajari jual beli mobil Jo, rumah ini bisa dibuatkan garasi, kalau kampung sini butuh mobil tinggal kontak aja" sambung Mukadar sedikit berangan-angan.
Aku masih bergeming. Kubiarkan saja Mukadar menjelaskan berbagai hal tentang jual beli mobil di kota yang untungnya besar. Sampai ia pamitan, aku masih tak goyah. Tinggal di kampung bukan pilihan yang salah. Merantau juga bukan pilihan yang salah. Keduanya punya sebab akibat yang harus dipertanggungjawabkan masing-masing sesuai kemampuan.
Tahun baru ditandai dengan kokok ayam jantan, perantau sudah kembali ke kota masing-masing. Kampungku kembali sepi. Sejenak aku dapat tidur nyenyak kembali setelah seminggu lalu suara lalu lalang kendaraan menerobos kamarku.
Rumah sering kusapu, tapi karena jalan kampung ramai kendaraan, debu sepertinya melayang dan kembali menghampiri rumah. Suara gelak tawa bertukar cerita pun sudah tak terdengar. Kedamaian kembali tiba di kampung ini. Suara burung dan lenguhan sapi saling bersahutan. Sepiring singkong rebus dan secangkir kopi sudah tersaji diatas meja.