Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Akhir Sebuah Pepatah Bagi Koruptor

13 Desember 2020   14:34 Diperbarui: 13 Desember 2020   18:50 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://static.hollywoodreporter.com

"Edi, berapa tahun jadi kepala seksi?" tanya walikota suatu hari.
"Siap, sudah tiga tahun" jawab Edi Prakoso bersemangat. Ini adalah salah satu lobi yang menentukan karirnya. Setiap loyalitas tak ada yang gratis. Ia ingin ada peningkatan dari karirnya. Benih-benih mulai disemai, jahat atau tidak itu urusan nanti.

"Coba ke bagian kepegawaian, bawa memo ini" perintah walikota.
"Siap, laksanakan" diterimanya memo dari walikota itu dengan bangga. Sebentar lagi aku akan menjabat kepala bidang, lalu sekretaris dinas, lalu kepala dinas. Benih-benih mulai diletakkan dalam media, apakah nanti dipupuk dan disirami itu urusan nanti.
-----*****-----
Pergantian walikota ketiga kalinya mengantarkan Edi Prakoso menjadi pejabat di pemerintahan. Tak ada yang tak mungkin di kehidupan. Begitu pula dalam pemerintahan. Mampu atau tidak dalam menjabat itu urusan nanti. Menjadi pemimpin bisa ditempuh melalui berbagai jalur. Bisa sekolah dulu sampai mendapatkan gelar. Bisa pula melalui negoisasi serta mendekatkan diri dalam setiap kesempatan.

Semua bisa diatur. Hujan dan kemarau silih bermusim. Edi Prakoso telah menjadi pejabat tertinggi di pemerintahan daerah. Ia menjadi sekretaris daerah. Butuh lima belas tahun untuk menempuh karir itu. Bukan waktu lama, juga bukan waktu singkat. Sebab ia pandai merawat benih hingga menjadi tunas dan cabang yang terus tumbuh berkembang.

Kesempatan tidak datang dua kali. Sebagaimana pepatah manusia tak ada yang sempurna. Edi Prakoso pun menjalani karirnya sebaik mungkin. Kesempatan yang datang dimanfaatkan dengan baik. Meski tak sempurna, ia terus mencoba mencari cara untuk menutupi segala kekurangan.

Beragam kesempatan datang. Kesempatan untuk memperoleh selisih nilai proyek. Kesempatan untuk bermain dalam perijinan serta kesempatan untuk mengumpulkan beragama upeti-upeti, namanya juga upeti, segala sesuatu yang tak resmi. Kalau resmi namanya pajak.
-----*****-----
Edi Prakoso telah berlari kencang. Usianya masih jauh dari pensiun. Ia meninggalkan pejabat-pejabat seangkatannya. Ia juga telah lebih dahulu merasakan liku-liku bersekongkol dengan berbagai pihak.

Ada uang semua jalan. Begitu prinsipnya. Ini bukan benih lagi. Ini sudah mulai berbunga mekar. Perkara darimana uang berasal itu urusan nanti. Tak ada pepatah yang mampu melukiskan perjalanan karirnya. Bukankah mendung tak selamanya hujan? ah, itu hanya pepatah.

Korupsi. Apa itu? entahlah. Kata pepatah, korupsi itu besar pasak daripada tiang. Jika hanya mengumpulkan pasak apa gunanya? bukankah tiang-tiang penerang lampu jalan bisa dimodifikasi? mungkin ketebalan besinya, mungkin catnya, atau mungkin desainnya. Semua bisa diatur. Bukankah bayang-bayang sepanjang badan?

Namun Edi Prakoso lupa, pepatah benih yang baik tak memilih tanah menjadikan dirinya salah dalam merawat bunga yang mekar. Ia tempatkan bunga mekar itu dalam sebuah vas bunga dari emas. Lalu dimasukkan dalam sangkar emas. "Jangan ada yang mencuri siasatku, jangan ada yang mencuri hartaku" gumamnya setiap hari. Air pun ada pasang surutnya. Bangkai gajah bolehkah ditudung nyiru? bukankah setiap kejahatan ada jejaknya?
-----*****-----
Edi Prakoso tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berita-berita menghiasi media cetak, media televisi dan tentu berita online di ponsel pintar. Menjalani hukuman adalah buah kejahatan. Kesakitan di belakang hari adalah penyesalan. Merenungi diri adalah kesendirian dari perjalanan. Di dalam sel, Edi Prakoso sering terdiam. Tak banyak jawaban yang ia sampaikan saat sipir atau penjaga sel menanyakan kondisinya.

"Apa kau memerlukan obat?" tanya sipir.
"Nggak" jawab Edi Prakoso.

Sang sipir berlalu. Ia menjumpai tahanan lainnya di sepanjang lorong sel yang dipenuhi penyesalan. Lorong gelap yang terang oleh senter sipir semata.

"Selamat malam" kata sebuah suara menyapa Edi Prakoso.
"Aku tak butuh obat" Edi Prakoso mengulangi jawaban seperti sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun