Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jurus Tertinggi

7 Desember 2020   22:34 Diperbarui: 9 Desember 2020   03:03 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap purnama Respati selalu teringat kisah pertarungannya dengan pendekar Mata Macan. Bahkan bekas luka yang menghitam di beberapa lengannya seolah masih terasa basah, perih dan membuat dadanya sesak.

Respati sudah tak mau lagi bertarung. Seluruh jurus silatnya telah dilupakan. Sebagai pendekar, Respati memiliki tujuh puluh lima jurus yang dipadu dengan berbagai jurus lainnya. Sejak usia belia semua jurus itu dipelajari. Semakin dewasa semakin matang dan mahir menggunakan jurus saat pertarungan sengit.

Respati pun ingat pesan gurunya: "Kuasai jurus sebanyak mungkin, maka kamu akan mampu menangkis seluruh serangan." Sejatinya memang pendekar tidak melukai musuhnya, sebisa mungkin hanya menangkis atau menghindari pukulan. Pendekar yang memiliki derajat luhur biasanya hanya bertahan sampai lawan tak mampu lagi menyerang.

Sejurus waktu, ingatannya kembali dikoyak ketika seorang pendekar dari Mata Macan mendatangi rumahnya. Saat itu secangkir kopi belum sempat dinikmati. Sebuah pagi yang indah serasa nyaman untuk beristirahat, setelah berbulan-bulan membabat hutan untuk menjadikan ladang, namun dirusak oleh pendekar Mata Macan.

Bukan salah pendekar Mata Macan yang tiba-tiba menyerang dari arah matahari terbit. Saat itu Respati tak menganggap jeritan perempuan yang pilu adalah istrinya. Kelengahan Respati rupanya sudah terbaca jauh-jauh hari. Apalagi istrinya hanya menguasai lima jurus silat. Tak ayal mudah dipatahkan dan dibungkam.

Sebenarnya ini masalah dendam lama. Dimana leluhur perguruan Mata Macan pernah dikalahkan oleh leluhur perguruan Donowarih tempat Respati menimba ilmu silat. Bagaimanapun juga dendam adalah kesumat yang membara. Lebih mudah membakar kebencian dibandingkan ranting kering di hutan. Apalagi ini dendam antar perguruan silat.

Saat istri Respati menjerit, babi hutan yang dipelihara di belakang sontak bersahutan. Respati mengira istrinya sedang berlatih jurus ke-enam yang memang sedikit berat serta memerlukan hembusan tenaga dalam.

Barulah Respati menyadari saat beberapa jepit rambut istrinya mengenai lengannya. "Ini bukan latihan jurus" gumamnya. Maka, melompatlah Respati kedalam rumahnya.

"Hentikan, dasar pecundang, lawan aku" pekik Respati. Rupanya pendekar Mata Macan lebih dulu melumpuhkan istri Respati untuk menurunkan mental.

Kuda-kuda pendekar Mata Macan pun seperti dipenuhi tenaga. Sangat kokoh dan siap beradu. Sementara istri Respati ditendang hingga sudut ruangan, tubuhnya dipenuhi luka akibat cakaran-cakaran jurus macan.

Geraham Respati bergeletuk. Kepalan mulai dipenuhi energi. Sorot matanya tajam menatap lawan. Kakinya membuka perlahan, sebuah kuda-kuda yang tangguh telah siap bertarung.

Pertarungan tak terelakkan. Pendekar perguruan Donowarih melawan pendekar perguruan Mata Macan. Semua jurus dikerahkan. Saling menyerang, menerkam, menangkis, memukul dan bergantian jurus.

Masing-masing memiliki daya linuwih, dan masing-masing juga mulai menata energi yang terkuras. Sebab ini pertarungan tangan kosong, tanpa senjata. Semua hanya mengandalkan jurus-jurus silat yang jitu. Sekali lengah, maka akan fatal akibatnya.

Kedua pendekar masih mengerahkan jurus-jurusnya. Kali ini Respati mengeluarkan jurus kera. Sedangkan lawannya mengerahkan jurus merak. Saling mengimbangi dan tak mau kalah. Menyerang ditangkis. Diserang dan menangkis. Demikian seterusnya.

Alhasil sampai senja tiba, kedua pendekar kehabisan tenaga. Semua jurus telah bergantian dikerahkan. Tubuh mereka basah oleh keringat. Rambut acak-acakan. Berbagai luka juga menghiasi tubuh mereka yang sama-sama telanjang dada.

Lantai rumah yang masih beralas tanah seperti usai terkena badai topan. Suara-suara pukulan yang mengenai tubuh berangsur senyap. Kedua pendekar lemas dengan kakinya masing-masing. Nafasnya tersengal-sengal. Petang merayap, kedua pendekar terhuyung-huyung dan ambruk tak berdaya.

Mereka tertidur pada saat yang bersamaan. Membiarkan istri Respati yang sudah mulai pucat pasi tergolek kehabisan darah.

Kabut pertanda malam menerobos ke dalam rumah. Suasana gelap dan sangat dingin. Suara serangga Tonggaret menyanyikan lagu hutan silih berganti.

Purnama melintas diatas hutan. Beberapa utusan temaram turun ke bumi. Mereka menemukan dua pendekar yang tergolek lemas serta seorang perempuan yang sudah tak bernyawa.

Dibawanya perempuan itu terbang ke langit. Tubuhnya disemayamkan di rembulan. Bintang-bintang ikut melayat. Perlahan tubuh itu berubah menjadi pendar temaram, yang akan terlihat melingkar di bulan saat purnama.
-----*****-----
Keesokan pagi, kedua pendekar disadarkan oleh hangatnya matahari yang masuk melalui celah-celah atap rumbia.

Mereka mencoba bangkit, tapi tak sanggup. Mata mereka berpandangan ingin menyerang kembali, tapi sudah hilang energi yang terkumpul. Tubuh seperti layuh tak mampu berdiri.

Saat kondisi kritis seperti itu, Respati teringat pesan gurunya: "Jangan tidur di pagi hari sampai matahari meninggi"

Respati menahan matanya supaya tidak tertidur, ini perjuangan berat melawan kantuk. Lebih berat ketimbang melawan pendekar Mata Macan.

Matanya terus membelalak, sampai sebuah embun menetes dari celah-celah atap rumbia. Tetesan embun tepat mengenai bagian tengah cekukan diantara dua mata. Perlahan embun itu merayap ke kanan dan kekiri di sudut kedua mata.

Tampak bayang-bayang istrinya melambai-lambai. Respati hanya memandangi saja. Air mata dan embun tak terasa menyatu. Membentuk energi baru yang membangkitkan tubuh Respati. Sungguh ini kebesaran Tuhan, pikir Respati.

Respati bangkit dan melihat lawannya masih tergeletak. Pesan gurunya: "Jangan melawan orang lemah, musuh yang lemah dan amarah yang sudah padam"

Dihampiri tubuh lawannya. Mencoba untuk memapah supaya berdiri. Namun sia-sia. Pendekar itu tak berdaya, mulutnya mencoba untuk berbicara. Meski pelan tapi Respati menyimak seksama.

"Kita terlahir tanpa jurus, dan mati tak membawa jurus" kata terakhir pendekar Mata Macan sebelum menghembuskan nafasnya untuk yang terakhir kali. Pada akhirnya Respati menyadari bahwa hidup adalah kembali kepada Tuhan. Apa yang ia pelajari adalah bentuk kasih sayang untuk tubuhnya. Bukan untuk melukai.

Respati telah memperoleh jurus pamungkas seperti yang dituturkan gurunya: "Kasih sayang adalah jurus pamungkas yang datang dari Tuhan, jika kau sudah sampai disana, melihat purnama seperti melihat kekasihmu."

Pendekar Mata Macan akhirnya dikubur di belakang rumah Respati. Tak ada penanda apapun diatas kuburnya. Juga temaram purnama diatasnya.


SINGOSARI, 7 Desember 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun