Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Baliho

23 November 2020   22:34 Diperbarui: 24 November 2020   17:56 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku baru saja lahir dari rahim mesin cetak warna dengan ukuran besar. Terlahir sebagai lembaran bergambar yang aku sendiri tak tahu apa namanya. Kulihat ada lembaran bergambar lainnya. Lembaran bergambar itu mirip denganku, digulung oleh tangan cekatan. Tangan dari pekerja-pekerja yang tak punya ambisi karir ataupun nasib yang beruntung. Ah, mana aku tahu? siapa mereka, darimana mereka, masa bodoh.

Sungguh mereka para pekerja telah mempersiapkan kelahiranku. Mereka juga menciumi bauku yang menyengat. Padahal kukira aku ini semacam benda yang tak berguna. Ternyata, tidak demikian, buktinya silih berganti orang menukarku dengan lembaran uang.

Perlahan aku semakin mengenal diriku sendiri. Kata pekerja kurus yang celananya kedodoran dan jika duduk terlihat separuh pantatnya itu, aku disebut dengan nama baliho.

Ya, baliho. Nama yang gagah bukan? paling tidak jika dibandingkan dengan baner atau spanduk, rasanya aku paling besar, paling super dan paling mahal. Aku menjadi agak sombong diantara gulungan-gulungan kecil itu. Lagipula kata pekerja kurus itu, aku akan dipasang di sudut kota yang ramai.

Wah, betapa girangnya aku, sudah pasti orang akan memujiku. Orang akan melihatku tanpa jemu. Orang akan memperhatikanku setiap saat.

Perlahan tubuhku mulai digotong oleh pekerja-pekerja. Tiba-tiba dibanting ke dalam bak kendaraan pick up. Perasaanku mulai was-was. Aku mau diapakan ya?

Sebelum pertanyaanku terjawab, mendadak kawan-kawanku juga diperlakukan seperti aku. Bahkan mereka dibanting agak keras. Kita saling tindih. Aku ingin menyesuaikan diri, tapi ternyata sulit. Kita hanya meringis menahan kesakitan.

Kendaraan melaju kencang. Bagian bawah tubuhku diinjak oleh pekerja. Pantatku bahkan diduduki seseorang yang gendut. Kepalaku dihiasi kawat-kawat serta peralatan entah apa namanya.

Kendaraan kadang berhenti mendadak menurunkan salah satu dari kita. Sampai akhirnya giliranku tiba. Disebuah sudut perempatan yang ramai. Tubuhku diturunkan. Mataku membelalak melihat keramaian kota yang riuh. Lalu aku mau diapakan? Entahlah aku masih mencoba bernafas diatas hamparan rumput yang separuhnya bercampur lumpur, sisa hujan semalam.

Ampun Tuhan...., setelah istirahat sejenak, tubuhku mulai ditarik kesana-kemari. Diikat dengan kawat. Aku harus mendekap serangkaian bambu yang disusun sedemikian rupa berbentuk kerangka kotak. Semacam apa ya ini? entahlah seperti kotak dengan dua kaki atau apa ini ya? aku baru mengalaminya.

"Akhirnya selesai juga, lumayan bagus" kata salah satu pekerja seraya membereskan peralatan.
"Hei tunggu, apakah aku disini selamanya?" teriakku, namun sia-sia. Suara deru kendaran lebih kencang dibanding suaraku yang mirip hembusan angin.

Tiba-tiba baliho renta disampingku berbisik: "Selamat datang kawan, selamat menjerang disini, selamanya"
"Selamanya?" gumamku.

Rasanya ingin menangis. Masih belia sudah dipaksa begini begitu. Bagaimana jika kuundang angin kencang saja? lalu kusuruh dia menabrakku dengan keras, sehingga aku roboh dan menimpa pengendara? masuk akal bukan? paling tidak aku akan dibongkar lalu tidak terpasang lagi di sudut perempatan itu.

"Angin kemarilah" teriakku. Tak ada sahutan apapun dari angin. Hanya semilir yang membuat seseorang justru berhenti dibawah tubuhku. Ia mengamati setiap detil tubuhku. Lalu ia mengangguk-angguk seperti mengerti.

Sebenarnya aku malu dilihat seperti itu. Memandang sewajarnya saja. Lagipula apa yang menarik dari tubuhku? atau, jangan-jangan aku memang menarik? Ayolah, aku tak punya apa-apa selain hanya lembaran tipis, mengapa memandangku seperti itu?

Semakin sore semakin banyak orang yang melintas sambil melirikku sejenak. Diam-diam seorang perempuan dihadapanku. Matanya menatapku beberapa menit. Itu terlihat dari bulu mata palsu yang berkedip-kedip. Wajahnya berhias menor, gincunya memerah darah. Tapi yang menyebalkan ia pakai baju ketat, sehingga beberapa bagian tubuhnya menonjol, termasuk perutnya.

Siapa perempuan ini? mengapa begitu lama menatapku? saat tanyaku belum terjawab, tiba-tiba perempuan itu memekik geram: "Beneran nggak doyan?"

"Nggak doyan? apa maksudnya?" gumamku keheranan.
"Enak kamu ya, cuma jadi baliho aja dipuja-puja, disembah-sembah, coba kamu jadi aku......" timpal perempuan itu sembari meraih kerikil di dekat kakinya lalu melemparkan ke tubuhku.
"Aduh sialan, ingin kutimpa saja tubuh perempuan itu."

Tapi, perempuan itu malah berjoget kecil. Ia terkekeh sendiri seraya memutar badan membelakangiku. Ia menungging memamerkan pantatnya yang terbungkus rok mini penuh lipatan.

Petang membuatku samar-samar melihat perempuan itu bicara sendiri ketika para lelaki melintas di depannya. Mengapa ia menawarkan dirinya? apakah memang sudah tak ada harganya?

Sampai pada malam yang memuncak. Perempuan itu tetap menyuguhkan atraksi erotis di depanku. Jadinya, setiap pengendara yang melintas tidak memandangku lagi. Entah karena gelap malam, atau gara-gara perempuan itu.

Untunglah seorang lelaki berhenti dan bercengkerama dengan perempuan itu. Tepat dibawah dua kakiku yang tertancap dalam di pinggir jalan.

Lelaki itu mengerang tak karuan. Diselingi tawa binal perempuan. Aku sendiri bingung apa yang terjadi dibawah sana. Semoga mereka tidak melukai kakiku. Tapi ternyata tidak! mereka mengencingi kakiku. Air hangat beraroma pesing itu membuat gatal kakiku. Rasanya ingin menendang mereka sejauh-jauhnya. Kurang ajar!.
-----*****-----
Esok hari, orang beramai-ramai memenuhi jalanan. Aku tak tahu ada apa ini. Jalanan menjadi macet. Apa yang terjadi? Banyak orang yang mengumpat karena terlambat. Banyak orang yang sekilas memandangku dengan sinis. Aku jadi salah tingkah. Apa dosaku?

Tuhan, jika begini jadinya aku ingin menjadi baner atau spanduk saja. Untuk apa punya tubuh gagah tapi malah membuat orang memandangku terbelah-belah? sampai kapan aku berserah? aku hanya bisa pasrah.

Sepertinya Tuhan menjawab do'aku. Menjelang senja, perempuan itu datang lagi. Ia memandangiku seperti kemarin. Lalu bertanya: "Masih tetep nggak doyan nih?"

Aku heran, apanya yang nggak doyan? dasar perempuan gila. Kupikir perempuan itu akan menolongku, ternyata hanya menggoda belaka. Ia malah berjoget lagi seperti kemarin. Membelakangiku dan menawarkan diri pada lelaki yang melintas.

Saat petang menjelma malam. Tiba-tiba dari arah utara muncullah iring-iringan kendaraan dengan lampu strobo mendekatiku. Sontak perempuan itu lari terbirit-birit menyelamatkan diri. "Waduh ada operasi, lari...!!"

Aku tertawa lepas, sampai tak sadar tubuhku terlepas dari serangkaian bambu yang menjadi kerangka tubuh. Beberapa orang melucuti seluruh tubuhku. Ia menggulungku, melipatku, serta membawaku pergi beserta kenangan tatapan kagum dan sinis. "Apakah tugasku sudah usai?" gumamku lirih tak berdaya.


"Kapan dibakar?" tanya salah seorang.
"Siap besok pagi Ndan" jawab seorang lainnya.

Sebelum asap bau terbakar membumbung ke langit, kusadari betapa beruntungnya aku yang lahir dari rahim mesin cetak warna dengan ukuran besar, bukan dari rahim perempuan itu.

SINGOSARI, 23 November 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun