Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Baliho

23 November 2020   22:34 Diperbarui: 24 November 2020   17:56 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiba-tiba baliho renta disampingku berbisik: "Selamat datang kawan, selamat menjerang disini, selamanya"
"Selamanya?" gumamku.

Rasanya ingin menangis. Masih belia sudah dipaksa begini begitu. Bagaimana jika kuundang angin kencang saja? lalu kusuruh dia menabrakku dengan keras, sehingga aku roboh dan menimpa pengendara? masuk akal bukan? paling tidak aku akan dibongkar lalu tidak terpasang lagi di sudut perempatan itu.

"Angin kemarilah" teriakku. Tak ada sahutan apapun dari angin. Hanya semilir yang membuat seseorang justru berhenti dibawah tubuhku. Ia mengamati setiap detil tubuhku. Lalu ia mengangguk-angguk seperti mengerti.

Sebenarnya aku malu dilihat seperti itu. Memandang sewajarnya saja. Lagipula apa yang menarik dari tubuhku? atau, jangan-jangan aku memang menarik? Ayolah, aku tak punya apa-apa selain hanya lembaran tipis, mengapa memandangku seperti itu?

Semakin sore semakin banyak orang yang melintas sambil melirikku sejenak. Diam-diam seorang perempuan dihadapanku. Matanya menatapku beberapa menit. Itu terlihat dari bulu mata palsu yang berkedip-kedip. Wajahnya berhias menor, gincunya memerah darah. Tapi yang menyebalkan ia pakai baju ketat, sehingga beberapa bagian tubuhnya menonjol, termasuk perutnya.

Siapa perempuan ini? mengapa begitu lama menatapku? saat tanyaku belum terjawab, tiba-tiba perempuan itu memekik geram: "Beneran nggak doyan?"

"Nggak doyan? apa maksudnya?" gumamku keheranan.
"Enak kamu ya, cuma jadi baliho aja dipuja-puja, disembah-sembah, coba kamu jadi aku......" timpal perempuan itu sembari meraih kerikil di dekat kakinya lalu melemparkan ke tubuhku.
"Aduh sialan, ingin kutimpa saja tubuh perempuan itu."

Tapi, perempuan itu malah berjoget kecil. Ia terkekeh sendiri seraya memutar badan membelakangiku. Ia menungging memamerkan pantatnya yang terbungkus rok mini penuh lipatan.

Petang membuatku samar-samar melihat perempuan itu bicara sendiri ketika para lelaki melintas di depannya. Mengapa ia menawarkan dirinya? apakah memang sudah tak ada harganya?

Sampai pada malam yang memuncak. Perempuan itu tetap menyuguhkan atraksi erotis di depanku. Jadinya, setiap pengendara yang melintas tidak memandangku lagi. Entah karena gelap malam, atau gara-gara perempuan itu.

Untunglah seorang lelaki berhenti dan bercengkerama dengan perempuan itu. Tepat dibawah dua kakiku yang tertancap dalam di pinggir jalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun