Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Rayap Menggerogoti Kenangan dan Menyisakan Sesal

8 November 2020   22:55 Diperbarui: 9 November 2020   20:38 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com

Kami sudah lupa dengan apa yang pernah disampaikan ibu. Kami menyepakati untuk menjual rumah dimana kami dibesarkan. Kebetulan saat itu ada pembeli yang cocok. Hasil dari penjualan kami bagi sebagai warisan.

Lalu seperti semula, kami kembali pulang ke rumah masing-masing. Kami kembali ke tanah rantau. Sebagai pengganti sosok ayah dan ibu, maka aku anak tertua menjadi jujugan saat lebaran maupun pertemuan keluarga.

Setahun sekali kami masih aktif menziarahi makam orang tua. Kami seringkali lewat depan rumah yang masih tegar berdiri. Rupanya pembeli rumah kami belum segera membongkar dan menjadikannya tempat tinggal.

Kami sering bercerita tentang kenangan-kenangan selama menempati rumah itu. Mulai dari kenakalan kami hingga kursi bangku buatan ayah. Kursi bangku yang teronggok di teras itu menjadi saksi penantian ibu yang ditinggal suaminya berjuang di medan tempur.

Di kursi bangku itu pula ibu selalu menunggu anak-anaknya pulang dari rantau, entah akhir pekan atau jika ada liburan panjang. Di kursi bangku itulah ibu menghabiskan sisa hidupnya untuk segera bertemu ayah di surga. Kursi bangku yang selama ini luput dari perhatian kami.
-----*****-----
Sampai pada akhirnya kami semua disibukkan dengan berbagai urusan anak yang beranjak dewasa. Ada yang melanjutkan kuliah, serta kerepotan lainnya. Kami sempat absen lima tahun tidak menziarahi makam orang tua.

Lima kali lebaran kami malah sulit dipertemukan dalam satu waktu. Ada saja halangan untuk bisa berkumpul di hari lebaran. Maka, sebagai anak tertua aku pun menyarankan kembali untuk ziarah makam. Kami menyepakati jadwal ziarah di liburan panjang akhir tahun.
-----*****-----
Kami semua dalam perjalanan menuju makam. Do’a pengampunan bagi orang tua telah dipanjatkan. Bergantian kami menabur bunga diatas makam. Usai ziarah, kami sempatkan untuk singgah di bekas rumah kami. Ingin melihat dari dekat kondisi saat ini.

Rumah itu telah roboh dimakan usia. Menyisakan dinding depan yang masih terhubung dengan pilar-pilar teras. Sebuah kursi bangku tergeletak dengan posisi terbalik. Kami memandanginya dengan tangis penuh sesal.

Kursi bangku buatan ayah itu terbalik begitu saja. Keempat kakinya menjulang keatas. Mungkin karena sering kehujanan dan terkena lumpur, kursi bangku itu lengket dengan tanah.

Kuangkat kursi bangku itu perlahan. Kayunya sudah rapuh, dari dalam tanah menyeruak rayap. Semua penantian ibu sudah ditelan bumi bersama rayap. Seluruh kenangan ayah sudah menyatu dengan tanah.

Satu persatu dari kami memegang kaki kursi bangku itu, “Sebentar lagi kaki-kaki ini juga akan dimakan rayap”

Kami menangis di hadapan kursi bangku yang terbalik dan membujur kaku itu, menyesal tak merawat kegigihan ayah berjuang, menyesal tak merawat penantian panjang ibu kepada orang-orang yang dicintai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun