Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Rayap Menggerogoti Kenangan dan Menyisakan Sesal

8 November 2020   22:55 Diperbarui: 9 November 2020   20:38 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com

Semoga ini saatnya ibu bangkit dan melepas diam dirinya. Kami semua sudah rindu mendengar suaranya.

"Ayahmu pahlawan bagi negeri ini. Berjuang melawan penjajah. Ibu juga sudah siap jika sewaktu-waktu ayah gugur di medan perang " jelas ibu dengan suara yang tegas dan tertata.

Ibu lalu berjalan menuju kursi bangku yang menghadap kami melingkar di lantai. Ia membenahi syal yang melingkar di leher. Setelah beberapa kali batuk ringan, ibu melanjutkan pembicaraan.

"Bagi keluarga ini, ayahmu juga pejuang. Dalam kondisi apapun. Ayah selalu membuat ibu bahagia. Ayah selalu ingin anak-anaknya sukses. Ayah selalu memperhatikan cucu-cucunya. Bahkan ia hafal kapan cucunya ulang tahun dan diberinya hadiah, walau berupa buah-buahan dari kebun di belakang rumah"

Suara ibu terhenti. Semua hening. Kami pun seperti sepakat untuk menunduk dan mendengar apa yang akan dikatakan selanjutnya. Lalu ibu meneruskan pembicaraannya.

"Ibu bahagia akhirnya ayah masih diberi kesempatan menikmati kemerdekaan bersama kalian. Ibu juga bahagia melihat kalian sukses seperti harapan ayah." suara ibu tersekat, nadanya bergelombang seperti menahan sesak di dada. Butiran air mata mengalir melintas pipinya yang keriput.

"Ibu hanya sedih, siapa yang akan tinggal di rumah ini kelak jika ibu menyusul ayah. Apakah ada dari kalian ada yang ingin tinggal disini?" tanya ibu penuh kesedihan.

Kami seperti ditimpa beban pertanyaan yang sangat berat. Sebab kami semua merantau. Aku di Makassar, adikku di Jakarta, adikku berikutnya di Semarang, yang buncit tinggal di Banjarmasin.

Hingga beberapa menit ibu hanya tertunduk di hadapan kami. Mulut kami seperti terkunci rapat. Kami semua sadar, tak mungkin akan menjawab pertanyaan ibu. Anak-anak ibu sudah merantau semua. Tinggal di tanah orang. Menyeberangi berbagai sungai dan samudera.

"Jika demikian, rumah ini nanti boleh dijual." pungkas ibu sembari buru-buru masuk kedalam kamar. Kami tak sempat menjawab. Tak ada yang berani memastikan diri untuk tinggal di rumah ini, rumah yang membesarkan kami.
-----*****-----
Nyatanya terbukti juga, kami harus kembali ke perantauan. Rumah ini sepi. Ibu ditemani seorang asisten rumah tangga. Kami bergantian untuk menghubungi ibu melalui video call. Sekedar menanyakan kabar. Sekalian mengobati rindu di tanah rantau.

Ibu menyusul ayah selang dua tahun kemudian. Kata tetangga memang biasanya orang yang saling mencintai tidak lama akan saling menyusul ke alam baka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun