Dalam diam ibu, kami tak ada yang berani bertanya. Kami tak mampu menghibur kesedihan ibu yang berlarut-larut.
Ibu juga tak begitu menikmati makan. Sekitar lima suap saja. Sontak wajahnya tirus. Bahunya turun, lengannya mengecil dan sepertinya lemas.
Kami sebagai anak-anaknya serta para menantu tak mungkin bisa mengembalikan kondisi ibu seperti semula. Rupanya rasa kehilangan yang mendalam sedang menggelayut di hati ibu. Seperti kabut pagi yang enggan beranjak dari taman.
Kami bergantian menjaga ibu. Setiap akhir pekan kami juga berkumpul serta mengadakan pertemuan membahasa sikap ibu. Kami masih diliputi bimbang, bingung serta kasihan melihat sikap ibu.
Untuk itu tak ada satu pun dari kami yang berani bertanya kepada ibu. Kami takut ada sesuatu yang salah dan tak berkenan yang akhirnya justru membuat ibu bersedih.
Aliya cucu pertama pun akhirnya terbiasa dengan sikap neneknya. Ia kini hanya bermain-main saja tanpa menghiraukan neneknya. Mungkin Aliya turut merasakan sorot mata neneknya yang kosong saat bersalaman.
Enam bulan lamanya, ibu berdiam. Sesuai pertemuan keluarga yang terakhir ada usulan untuk mendatangkan psikiater atau ahli kejiwaan. Namun buru-buru kami urungkan. Seperti tak tega menuduh ibu sudah depresi atau bahkan stress.
Kami masih menahan diri. Kami semua bersepakat bahwa ibu akan melawan sendiri kesedihan ini. Sampai kapan? ya sampai waktu yang tak terbatas. Bukankah kehilangan orang yang dicintai itu sebagai kehilangan yang tak ada obatnya?
"Ada obatnya," tiba-tiba ibu menyahut dari dalam kamar dengan lantang.
Kami yang ada di ruang keluarga terhenyak mendengar suara ibu. Kami saling bertatapan mata dan seperti penasaran mendengar suara itu berlanjut..
Pintu kamar terbuka. Ibu keluar dari kamar. Matanya menatap satu persatu pada kami yang duduk melingkar. Aliya sudah tertidur di pangkuanku. Istriku menunduk. Ia berbisik lirih: "Hati-hati mas, jaga perasaan ibu"