Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Rayap Menggerogoti Kenangan dan Menyisakan Sesal

8 November 2020   22:55 Diperbarui: 9 November 2020   20:38 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com

Sejak ayah meninggal, ibu tiba-tiba berubah menjadi sangat pendiam. Raut mukanya sedih, tatapannya sayu. Saat saudara-saudaranya datang, ibu nampak berat untuk tersenyum kecil.

Tak ada apapun yang bisa dikerjakan ibu selain mengunci diri dalam kamar. Entah apa yang dilakukan ibu semalaman di dalam kamar. Pernah kami kira ibu tidur semalaman, sebab terdengar suara dengkur yang teratur. Mungkin dengan seperti itu kesedihan ibu mereda.

Maka setiap pagi kami berharap ada sepatah dua patah kata dari bibir ibu yang tertutup masker itu. Namun yang terdengar hanya batuk ringan yang menjadi ciri khas ibu.

Ibu benar-benar pendiam. Diam berkata-kata. Biasanya setelah mencecap sisa tegukan kopi ibu akan mengucap “Alhamdulillah” sebagai bentuk rasa syukurnya kepada Tuhan. Semoga ibu mengucapnya dalam hati, sehingga benar-benar meresap.

Kami, empat anaknya tak ada yang berani menanyakan. Seperti tanpa dikomando kami memiliki pikiran yang sama, yaitu ibu masih larut dalam duka. Aliya cucu pertama ibu sekaligus anak pertamaku pernah berceloteh: "Kalau nenek sedih, Aliya pulang ke Makassar saja".

Kukira ibu menanggapi dan seperti biasa mengecup kening Aliya. Ternyata kali ini ibu acuh saja. Tak ada jawaban maupun tatapan dari ibu secuil pun kepada Aliya. Sungguh ini merupakan perubahan besar yang terjadi pada ibu.

Melihat perubahan ibu yang drastis itu kami sempat khawatir. Oleh karena itu aku menggagas sebuah pertemuan kecil sebelum kami semua pulang ke daerah masing-masing.

Malam itu saat ibu sudah berada dalam kamar, kami sepakat merundingkan berbagai perubahan ibu. Jelas hal ini merisaukan kami. Apalagi kami segera kembali ke perantauan.

Sebentar lagi rumah ini akan sepi. Hanya ibu yang akan menghuni rumah besar ini. Rumah tempat kami tumbuh menjadi dewasa. Rumah tempat ayah melepas satu-persatu anaknya merantau ke berbagai kota bahkan aku sendiri di luar pulau.

Kami membicarakan kondisi ibu. Dalam pembicaraan itu kami juga bergantian menemani ibu selama satu minggu. Paling tidak sampai seratus hari meninggalnya ayah. Selain itu untuk kebutuhan sehari-hari, kami juga mengumpulkan semacam iuran.

Apalagi jika nanti kami benar-benar kembali ke perantauan, maka satu-satunya cara adalah mencarikan teman untuk ibu. Pilihan jatuh pada asisten rumah tangga yang sekaligus bisa menjaga ibu.
-----*****-----
Sebulan telah berlalu. Ibu tetap tak ada perubahan. Mendekati peringatan empat puluh hari meninggalnya ayah, ibu masih mengunci senyumnya. Masih diam menyembunyikan kata-kata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun