Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jogging

Sesungguhnya aku tiada, hingga Tuhan membenamkan cinta di relung rusuk

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cindy Numpang Tidur di Kost

4 Oktober 2020   17:00 Diperbarui: 4 Oktober 2020   19:04 884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://3.bp.blogspot.com

Apa saat ini kamu termasuk penghuni suatu kost? pastinya kamu sadar bahwa itu bukan kamarmu sendiri bukan? apakah kamu juga pernah bertanya kepada pemilik kost tentang siapa penghuni sebelumnya? atau bertanya pada siapa saja yang kebetulan telah lama tinggal di kost tersebut tentang apa saja termasuk peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi?

Kelihatannya kamu mulai ragu untuk menempati kamar kost saat ini. Meski kelihatannya bersih, aman, bangunannya bagus, fasilitas bagus dan tentu harga sewa yang wajar. Semua itu belum tentu menjamin sesuatu tidak terjadi di kamar kostmu.

          "Oh tidak, mengapa harus ragu? kost ini di tengah kota, dekat dengan kampus, teman-teman disini sepertinya juga baik-baik saja. Apa yang diragukan?" katamu.
          "Bagaimana dengan kamar mandinya?" aku balik bertanya.
          "Kamar mandi dalam, memangnya kenapa?" sahutmu sedikit penasaran.
          "Lampu-lampunya? apakah cukup terang?" kucoba bertanya tentang lainnya.
          "Teranglah, aduh jangan bertele-tele, langsung aja!" pungkasmu tak sabaran.
          "Sabar sedikit kawan. Nanti akan kujelaskan. Oh ya, bagaimana dengan kasurnya? bantalnya? gulingnya?" cerocosku membabi buta.
          "Pokoknya bagus semua. Aku tak ragu dengan kost ini. Titik. Kau mau apa?" rupanya kamu sudah jengah dan mulai terpengaruh oleh berbagai tanyaku.
          "Baiklah, aku tak akan memulai kisah apapun tentang kostmu ini. Apalagi membahas kamar mandi, lampu, kasur, bantal dan semua barang yang ada di kamarmu. Aku akan bercerita tentang kamar kost dari sisi lain. Lebih tepatnya sesuatu diluar sana yang bisa masuk dalam kost. Bisa jadi apa yang kuceritakan ini menjadi sesuatu yang akan kamu alami. Tapi, semoga tidak demikian" pungkasku. Kamu pun mulai tenang dalam posisi duduk. Semoga kamu juga sudi mengikuti kisahku ini.

Dulu aku juga pernah kost sepertimu, di Surabaya. Kota besar yang ramainya 24 jam. Hampir tak pernah aku mengalami kelaparan maupun kehausan. Warung kopi lengkap dengan nasi bungkus (waktu itu disebut sego saduk-an) selalu menolong saat perutku keroncongan. Harganya murah, dan tentu cukup jalan kaki saja untuk kesana.

Tapi, yang kukisahkan disini adalah tentang kamar kostku. Sebuah kamar kost pria yang dikepung oleh kost-kost untuk wanita. Mengapa demikian? ya jelas, kost wanita selalu ingin dekat kampus. Wanita atau mahasiswi tidak mau jalan kaki jauh-jauh. Mereka juga cari aman seandainya pulang mengerjakan tugas dari kampus. Tidak capek aja, begitu alasannya, apalagi kalau malam hari. Tahu sendiri kan suasana kampus dimanapun kalau malam?

Kamar kost yang kutempati ini berukuran 3 meter x 3 meter. Bangunan berbentuk kubus ini dilengkapi satu pintu dan satu jendela. Kamar mandi ada di luar. Didalamnya boleh bawa kipas angin, komputer, setrika dan kompor gas. Setiap kamar memiliki meteran PLN sendiri-sendiri. Setiap penghuni wajib menanggung soal penggunaan setrum PLN tersebut. Oleh pemilik kost, kamar kostku diberi nomor 203. Artinya saya tinggal di lantai 2 kamar nomor 03 atau kamar ketiga. Mirip penomoran kamar hotel.

Suasana kost secara umum cukup bersih untuk ukuran kost pria. Tersedia bak tempat sampah. Memiliki tukang kebersihan sekaligus penjaga yang disiplin. Kamar kost selalu dibersihkan dan dirapikan sebelum ditempati. Tidak bocor saat hujan, dan tidak pula banjir. Memiliki pagar besi tinggi dilengkapi cctv 24 jam. Terdapat pula tempat mencuci baju, cuci piring dan area menjemur pakaian.

Sudah bersih, aman, rapi, nyaman, dan suka-suka pula. Mau bawa alat elektronik apapun boleh, asalkan sesuai daya PLN. Hanya satu yang tidak boleh, yaitu membawa teman mahasiswi hingga ke kamar. Sebab sudah disediakan teras yang dilengkapi dengan kursi dan meja. Sekali melanggar dan tertangkap cctv, maka langsung dikeluarkan tanpa alasan apapun.

Sialnya, aku pernah lupa. Beberapa teman mahasiswi pernah mengerjakan tugas bersama di teras. Sebut saja Endang, Okta dan Cindy. Entah mengapa kelompokku terdiri dari 3 wanita dan hanya aku sendiri yang pria.

Saat itu menjelang sore sepulang dari kuliah. Kami asyik mengerjakan tugas sampai maghrib tiba. Namun, ditengah mengerjakan tugas, Cindy telah pamitan untuk pulang lebih dulu. Alasannya ibunya sakit. Ia tidak kost seperti 2 mahasiswi lainnya. Kami mengijinkan, dan Cindy segera pulang.

Hanya saja, saat Cindy pulang kami bertiga tidak ada yang mengantar sampai pintu gerbang. Kami anggap Cindy sudah dewasa, jadi cukup pamitan seperti umumnya. Lalu kami asyik melanjutkan tugas hingga maghrib tiba. Tugas sudah selesai, Endang dan Okta pun pamitan pulang ke kost masing-masing.

Aku segera mandi. Tempat jemuran handuk serta perlengkapan mandi seperti sabun dan sikat gigi sudah disediakan di dekat kamar mandi. Usai mandi masuk kamar dan melakukan rutinitas seperti biasa. Nonton TV, makan nasi goreng lalu tidur.

Saat tertidur itulah antara sadar dan tidak sadar aku merasakan ada tubuh yang memelukku dari belakang. Aku tetap berbaring miring menghadap tembok. Lama kelamaan keberanianku luntur juga. Bulu kudukku berdiri semua. Naluriku mengatakan, "Aku ingin tahu siapa dirimu."

Sebelum tubuhku berbalik arah sebuah bisikan lembut mengejutkan hatiku. Sebuah bisikan dari perempuan yang tidak asing di telingaku.

          "Arman, aku cinta kamu" bisik suara itu. Tubuhku segera berbalik dan benar dugaanku.
          "Cindy? gila kamu!" aku setengah membentak.

Cindy mengaku bahwa sebenarnya ia tidak pamit pulang. Ia menyelinap masuk kamarku yang tak terkunci. Selama aku mandi, nonton TV dan makan nasi goreng ia bersembunyi di lemari yang penuh dengan baju digantung.

Malam itu aku tidak tidur. Aku baru tahu selama ini Cindy menaruh hati padaku. Tapi, tidak begini caranya. Apalagi dia mahasiswi yang jelas-jelas masuk dalam kamarku. Ini artinya aku telah melanggar peraturan kost. Terbayang aku besok akan pergi meninggalkan kamar ini. Kamar kost yang sesuai idaman, dan aku terlanjur kerasan.

          "Baiklah, apa maumu sekarang!" tanyaku dengan sedikit emosi.
          "Aku mencintaimu Arman" jawab Cindy merayu.
          "Ya, tapi apakah kamu sadar jika begini caranya akan merusak segalanya. Besok aku pasti diusir dari kost ini. Lalu orang tuaku akan marah besar. Aku menghargai cintamu, tapi caramu seperti ini justru merendahkan diri sendiri sebagai kekasih. Pikirkan itu Cindy!" emosiku meletup tak terkendali.
          "Maaf Arman. Aku ingin menyatakan cinta hanya untuk malam ini saja. Jika tak kau terima, malam ini juga aku akan pergi" kata Cindy dengan nada iba.
          "Masa bodoh, mau malam ini kek, besok malam kek, sampai kapanpun aku tak setuju dengan caramu" balasku seraya mengusap kening dengan tisu. Keringatku semakin deras. Amarahku memuncak. Aku tak habis pikir dengan kelakuan Cindy ini.

Cindy mendekatiku. Aku menggeser tempat duduk. Kali ini aku bersandar di dinding dekat pintu. Cindy terus mendekatiku. Semakin dekat, dekat dan sangat dekat. Bahkan kurasakan dengus nafasnya yang tak teratur di bibirku.

          "Arman, peluk aku" bisik mesra Cindy. Tubuhku bergetar. Aku terus menguatkan hati untuk tidak tergoda. Jujur, aku juga pria normal. Pria yang menyukai lawan jenis.

Seketika aku reflek bangkit dan berdiri tegak. Tanganku segera meraih pintu, lalu kubuka pintu itu lebar-lebar. Aku berlari keluar kamar. Turun melalui tangga dan terus memanjat pagar.

Sekarang aku sudah ada diluar area kost. Nafasku terengah-engah. Aku seperti orang gila yang berjalan sendiri di tengah gang yang dipenuhi kost di kanan kirinya. Berjalan terus dan tak memikirkan kemana tujuannya. Aku hanya ingin menghindari Cindy. Cepat atau lambat, sekarang atau besok sama saja. Pasti aku akan diusir dari kost.

Lontang-lantung aku berjalan sendiri menyusuri trotoar. Berjalan melintasi warung-warung yang masih buka dengan iringan lagu dangdut lawas. Beberapa tukang becak nampak meringkuk di dalam becaknya sedang menyemai mimpi.

Aku tak sempat membawa jaket. Dingin menusuk tulang. Tapi aku terus berjalan. Baru berhenti saat tiba di sebuah kerumunan.

          "Ada apa pak?" tanyaku pada seorang tukang becak yang masih terjaga.
          "Nggak tahu mas, tadi beberapa orang keluar masuk ke rumah sakit itu. Sempat ada keributan. Sepertinya ada yang nggak terima, tapi ya nggak terima apa saya juga belum jelas" urai tukang becak.

Aku mendekat ke sebuah lorong menuju kerumunan di rumah sakit. Terlihat kerumunan orang serta mobil ambulan yang hendak keluar. Sedikit terdengar teriakan histeris seorang wanita serta adu mulut diantara kerumunan itu. Kudekati saja biar tidak penasaran.

Aku membelah kerumunan dan mendekati mobil ambulan. Kulihat jenazah sudah tertutup kain putih terbujur diatas brankar (dipan dorong khusus ambulan).

Dari adu mulut itu kusimpulkan sendiri rupanya ada pihak yang tidak terima. Mungkin karena kecelakaan atau bagaimana sehingga pihak keluarga menyesalkan kematian orang dalam ambulan tersebut.

Tiba-tiba seorang petugas rumah sakit keluar dari ruangan dan menyerukan agar perselisihan diselesaikan nanti di kepolisian. Aku masih penasaran dan mencari tahu apa penyebab kematian jenazah tersebut.

          "Baiklah, mana orang tua dari almarhumah Cindy?" kata petugas rumah sakit itu dengan sangat jelas di telingaku. Aku masih belum paham, siapa Cindy yang dimaksud. Nampak kedua orang tua jenazah berjalan dipapah oleh orang lain sambil menangis sedih mulai masuk ke dalam mobil ambulan.
          "Sepertinya aku tidak asing dengan orang itu" gumamku saat melihat wajah kedua orang tua jenazah tersorot lampu lorong. Aku segera menghampiri kedua orang tua yang hendak naik ambulan dan duduk di samping jenazah.
          "Mamanya Cindy? saya ikut berduka" spontan aku berkata demikian tanpa bisa direm. Wanita paruh baya itu menoleh dengan derai air mata.
          "Arman? kau disini nak? Cindy telah tiada Arman, tadi sore sepulang kuliah ditabrak....." suara itu tercekat dan sesenggukkan menahan sesak di dada.

Kakiku sekejap lemas. Kepalaku pening dan tak berbuat apapun. Aku berdiri membatu sekuat kakiku dan membiarkan mobil ambulan itu berlalu membelah malam dengan sirinenya. Sebuah sirine duka yang menggelayut telingaku. Aku tak tahu, Cindy mana lagi yang tadi malam memelukku dan menyatakan cinta?

Sampai pagi aku belum berani pulang ke kost. Benakku mengatakan, "Aku pasti diusir." Benarkah demikian? Ternyata tidak. Penjaga kost tidak melihat apapun di rekaman cctv. Bahkan aku disuruh bertahan di kost, sebab adiknya dari desa mau ujian masuk perguruan tinggi dan numpang tidur di kamarku.

Hatiku agak lega, nanti malam setidaknya ada teman. Supaya tidak teringat kejadian semalam. Meski sebenarnya aku masih belum percaya kehadiran Cindy dalam kamarku.

---------- ********** ----------

          "Tok...tok...tok" aku segera bangkit untuk membukakan pintu. Pasti adiknya pak penjaga kost, pikirku tenang. Segera kutarik tuas daun pintu, dan kubuka pintu.
          "Kak....kak.......kau siapa?" mulutku gagap, mataku berkunang, tubuhku ambruk pingsan semalaman.

 

SINGOSARI, 4 Oktober 2020

Kisah kost di Karangmenjangan Surabaya yang dekat dengan kamar Jenazah RSUD dr. Soetomo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun