Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jogging

Sesungguhnya aku tiada, hingga Tuhan membenamkan cinta di relung rusuk

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cindy Numpang Tidur di Kost

4 Oktober 2020   17:00 Diperbarui: 4 Oktober 2020   19:04 884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://3.bp.blogspot.com

Lontang-lantung aku berjalan sendiri menyusuri trotoar. Berjalan melintasi warung-warung yang masih buka dengan iringan lagu dangdut lawas. Beberapa tukang becak nampak meringkuk di dalam becaknya sedang menyemai mimpi.

Aku tak sempat membawa jaket. Dingin menusuk tulang. Tapi aku terus berjalan. Baru berhenti saat tiba di sebuah kerumunan.

          "Ada apa pak?" tanyaku pada seorang tukang becak yang masih terjaga.
          "Nggak tahu mas, tadi beberapa orang keluar masuk ke rumah sakit itu. Sempat ada keributan. Sepertinya ada yang nggak terima, tapi ya nggak terima apa saya juga belum jelas" urai tukang becak.

Aku mendekat ke sebuah lorong menuju kerumunan di rumah sakit. Terlihat kerumunan orang serta mobil ambulan yang hendak keluar. Sedikit terdengar teriakan histeris seorang wanita serta adu mulut diantara kerumunan itu. Kudekati saja biar tidak penasaran.

Aku membelah kerumunan dan mendekati mobil ambulan. Kulihat jenazah sudah tertutup kain putih terbujur diatas brankar (dipan dorong khusus ambulan).

Dari adu mulut itu kusimpulkan sendiri rupanya ada pihak yang tidak terima. Mungkin karena kecelakaan atau bagaimana sehingga pihak keluarga menyesalkan kematian orang dalam ambulan tersebut.

Tiba-tiba seorang petugas rumah sakit keluar dari ruangan dan menyerukan agar perselisihan diselesaikan nanti di kepolisian. Aku masih penasaran dan mencari tahu apa penyebab kematian jenazah tersebut.

          "Baiklah, mana orang tua dari almarhumah Cindy?" kata petugas rumah sakit itu dengan sangat jelas di telingaku. Aku masih belum paham, siapa Cindy yang dimaksud. Nampak kedua orang tua jenazah berjalan dipapah oleh orang lain sambil menangis sedih mulai masuk ke dalam mobil ambulan.
          "Sepertinya aku tidak asing dengan orang itu" gumamku saat melihat wajah kedua orang tua jenazah tersorot lampu lorong. Aku segera menghampiri kedua orang tua yang hendak naik ambulan dan duduk di samping jenazah.
          "Mamanya Cindy? saya ikut berduka" spontan aku berkata demikian tanpa bisa direm. Wanita paruh baya itu menoleh dengan derai air mata.
          "Arman? kau disini nak? Cindy telah tiada Arman, tadi sore sepulang kuliah ditabrak....." suara itu tercekat dan sesenggukkan menahan sesak di dada.

Kakiku sekejap lemas. Kepalaku pening dan tak berbuat apapun. Aku berdiri membatu sekuat kakiku dan membiarkan mobil ambulan itu berlalu membelah malam dengan sirinenya. Sebuah sirine duka yang menggelayut telingaku. Aku tak tahu, Cindy mana lagi yang tadi malam memelukku dan menyatakan cinta?

Sampai pagi aku belum berani pulang ke kost. Benakku mengatakan, "Aku pasti diusir." Benarkah demikian? Ternyata tidak. Penjaga kost tidak melihat apapun di rekaman cctv. Bahkan aku disuruh bertahan di kost, sebab adiknya dari desa mau ujian masuk perguruan tinggi dan numpang tidur di kamarku.

Hatiku agak lega, nanti malam setidaknya ada teman. Supaya tidak teringat kejadian semalam. Meski sebenarnya aku masih belum percaya kehadiran Cindy dalam kamarku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun