Siang itu langit Surabaya sedang mendung. Musin hujan masih muda di bulan September ini. Entahlah, kadang semua tak sesuai prediksi. Hidup ini serupa tebak-tebakan. Kadang sesuai penanda, lain waktu meleset dari tanda apapun. Hidup tak ada yang pasti.
Erwin melempar tatapannya keluar jendela, di sudut kelas yang masih dipenuhi teman-temannya, batinnya bertanya-tanya:
"Abu-abu. Hujan akan turun, atau tidak? ah, entahlah."
Bel pulang sekolah belum juga terdengar. Padahal, penanda pulang sekolah itu sangat berarti baginya. Ia gelisah memindah pandangannya antara keluar jendela dan sepasang jarum jam dinding yang merayap lambat.
Suasana kelas memperlihatkan teman-temannya yang masih mengerjakan tugas akar pangkat dan kuadrat. Tugas dari seorang guru yang juga disibukkan dengan hal administratif yang riweh tapi wajib dikerjakan. Guru jaman sekarang tak hanya dituntut mengajar belaka, ada isian yang harus dicatat, dijelaskan serta dilaporkan. Jika tidak demikian mereka tak akan memperoleh tunjangan seperti yang diharapkan.
Erwin merasa tugas itu semakin rumit bagi otaknya. Keningnya berkerut, sementara jari telunjuknya tak henti mengetuk permukaan meja. Perasaannya tak sabar menunggu bel sekolah berbunyi. Tiba-tiba sebuah letupan suara menusuk telinganya:
"Erwin, nah kamu melamun lagi kan?" teriak Bu Maria persis di samping kanan.
"Hah? ya Bu..?", jawab Erwin dengan pandangan bingung. Gagu. Gelagapan.
"Tugasmu sudah selesai? ckckckck....., melamun aja kamu ini, mau ujian kok nggak fokus." Bu Maria sangat geram melihat tingkah Erwin yang terus pura-pura merapikan buku tulisnya, padahal ia tahu tak ada secuil coretan angka di lembaran putih itu.
"Iya Bu, Maaf" sahut Erwin dengan tundukan kepala.
"Lihat itu bajumu, kamu ini sekolah apa main layang-layang? ayo dimasukkan, yang rapi. Sudah berapa kali Ibu mengingatkannya!" lanjut Bu Maria semakin geram.