Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jogging

Sesungguhnya aku tiada, hingga Tuhan membenamkan cinta di relung rusuk

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seorang Anak di Dekat Monumen Kota

20 September 2020   20:25 Diperbarui: 20 September 2020   20:40 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://exist-art.blogspot.com

"Iya Bu, Maaf" sahut Erwin seperti sebelumnya.

"Hei, mana ikat pinggangmu? ketinggalan lagi? ayo apa alasanmu sekarang?" Bu Maria menarik-narik celana Erwin, ingin mempertegas kolong ikat pinggang yang melompong.

Belum sempat Erwin menjawab, Bu Maria menggedor lagi dengan suara lebih keras lagi:

"Oh ya, bilang sama orang tuamu, iuran untuk ujian belum lunas, ini minggu terakhir, jangan lupa ya, kamu dengar Erwin?"

"Dengar Bu"

Erwin hanya menunduk lesu. Tak ada jawaban selain ma'af dari mulutnya yang kering. Hatinya seperti ditusuk-tusuk nyeri, namun ia terus menahan mendung di kedua matanya. Kepalanya hanya memikirkan segera pulang dan pulang. Itu saja.

---------- ********** ---------

Hujan semakin deras siang itu. Angin ikut menajamkan rintik yang menghujam di wajah Erwin. Berbekal jas plastik yang berlubang disana-sini, Erwin terus mengayuh sepedanya menerjang hujan. Pulang sekolah bagi Erwin adalah harapan hidup yang harus diperjuangkan. Ini tentang dirinya dan ibunya. Siapa lagi yang memikirkan diri jika bukan diri sendiri?

Jalan Bubutan yang biasanya banjir menjadi tantangan bagi Erwin. Mobil-mobil mulai melambat membelah luapan air. Riuh klakson tak kalah derasnya. Semua berebut ingin segera sampai tujuan. Seorang polisi cepek sudah kuyub mengatur jalan dengan peluit di mulut. Suara peluitnya tak terdengar lagi. Mulutnya semakin basah antara air hujan dan air liurnya sendiri.

Bilik perasaan Erwin semakin bergejolak. Sebenarnya ia ingin pulang sebelum bel sekolah berbunyi tadi, namun apa daya, Bu Maria mendahului dengan ceramahnya. Erwin mengumpat dalam hati. Giginya mengatup menahan kesal. Namun begitu Erwin tetap berharap hujan kali ini membawa berkah seperti hujan lainnya.

Sepeda angin itu akhirnya mengantar tubuh Erwin sampai di depan rumah kecil. Di dalamnya seorang ibu renta telah meremas jemarinya sendiri karena cemas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun