Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jogging

Sesungguhnya aku tiada, hingga Tuhan membenamkan cinta di relung rusuk

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seorang Anak di Dekat Monumen Kota

20 September 2020   20:25 Diperbarui: 20 September 2020   20:40 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Oalah Win, akhirnya sampai rumah juga, kenapa kok lama?", suara renta itu menyambut tangan Erwin yang rasanya hanya tulang berbalut kulit. Seulas senyum menghiasi wajahnya keriput yang tertempel koyo di kedua sisi dahinya. Tubuh ibu renta itu berbalut jaket gombal yang melapisi kaos sebuah partai tertentu. Tangan kanannya membawa seplastik kopi, sementara tangan kirinya membawa beberapa payung yang belum terbuka.

"Masih ada tugas bu, lagian hujan bu", bohongnya sambil tersenyum simpul. Tak sampai hati rasanya Erwin mengadukan pesan Bu Maria pada ibunya itu.

"Ya sudah, Ibu khawatir, hujannya deras sekali, lihat itu air sudah mulai masuk rumah", sambung Ibu Erwin menyambut anak semata wayangnya.

Semenit kemudian, Erwin telah berganti kaos oblong. Dilapisi rompi hijau metalik dengan peluit dikalungkan. Ia mencoba menenangkan diri dengan menenggak secangkir kopi buatan ibunya. Hujan terus meninggikan permukaan air yang menggenangi jalan. Banjir di Surabaya memang cepat meninggi, tapi cepat pula surut seperti disedot detik.

Rambut Erwin masih basah, tapi ia segera meninggalkan rumah lagi. Tujuannya ke sebuah tempat praktek dokter bersama. Disana ia bekerja menjadi juru parkir sekaligus penjaja payung saat hujan. Sebuah pekerjaan orang dewasa yang selama ini terpaksa ia sanggupi untuk kehidupan sehari-harinya.

"Payungnya pak...! Bu payungnya bu, silahkan om payungnya..!", suara seraknya mengimbangi suara hujan yang bertahan deras. Ia terus memaksa tubuh ringkihnya untuk mengumpulkan uang recehan. Ibunya seringkali melarangnya, namun Erwin tetap kukuh. Dengan dada penuh sesak Erwin akan terus menjalani nasibnya ini untuk Ibunya.

"Kalau tak kerja, kita mau makan apa bu?" jawab Erwin jika ibunya mencegah.

---------- ********** ----------

Sekira jam 20:00 malam, hujan semakin menipis dan reda. Aroma basah serta lalu lalang kendaraan semakin berkurang. Kendaraan yang keluar masuk sudah tak terhitung oleh Erwin. Tas pinggangnya telah dijejali recehan. Satu-satunya hiburan bagi Erwin di setiap malam.

Jalan Bubutan tak lantas begitu saja menyepi. Kumpulan daun tua yang tercecer di jalan telah disapu genangan air. Seperti petugas kebersihan yang mulai membersihkan lantai ruang praktek dokter bersama. Sesekali nampak pula petugas kebersihan menyapu di ruang tunggu yang masih ditunggui segelintir pasien.

Erwin terus berlarian kesana-kemari saat ada kendaraan yang keluar dan masuk. Baginya seplastik kopi dingin sudah cukup untuk memacu semangat. Ia tak banyak berhitung dengan nasibnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun