Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jogging

Sesungguhnya aku tiada, hingga Tuhan membenamkan cinta di relung rusuk

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ternyata Fotoku Masih Kau Simpan

21 Agustus 2020   00:35 Diperbarui: 22 Agustus 2020   12:17 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu senja di sebuah pujasera yang tak begitu ramai, ditemani kopi pahit dan sepotong roti bakar, kutuntaskan membaca sebuah buku puisi karya seorang penyair kenamaan. Aku percaya membaca buku dapat mengusir kebosanan. Apalagi yang kutunggu kali ini adalah "mantan" kekasih semasa SMA.

"Sorry telat, sudah lama disini?" suara Yuni begitu lembut, apalagi ia sambil menyibakkan rambutnya.
"Baru juga kok, santai aja" sambil kutunjukkan kopi pahit yang masih utuh dan mengepulkan asap.

Yuni nampak anggun, rambutnya sebahu, dengan leher jenjang dan berwajah tirus. Kemeja putih polos yang tidak begitu ketat dengan celana jeans kesukaannya menambah penampilannya lebih dewasa, elegan dan penuh percaya diri. Kuamati sepintas bahasa tubuhnya belum rileks. Berulangkali ia melempar pandangan ke berbagai arah, seperti berharap tak ada yang melihat pertemuan ini. 

"Wah buku apa nih?" serun Yuni membuka obrolan.
"Oh ini, buku puisi, kau suka puisi?" jawabku sedikit tergopoh-gopoh. Yuni menggeleng kepala, ia hanya menatap buku yang ada di hadapanku. Sepertinya ia masih mengumpulkan kata-kata untuk membuka pembicaraan selanjutnya. 

Akhirnya tak kuasa juga, diraihlah buku di hapadanku. Sembari membuka-buka lembaran buku ia mulai menata pembicaraan. Mulai basa-basi ringan hingga cerita kuliner, kisah saat SMA dan kota-kota yang kusinggahi selama ini. Tak terasa senja berlalu menyambut petang.

"Oh ya, sejak kapan kau menyukai puisi? Seingatku dulu kau begitu ugal-ugalan, nggak cocok kalau menyukai puisi" selidik Yuni seraya mengembalikan buku itu kembali ke hadapanku.
"Memangnya puisi selalu identik dengan orang pendiam?" balasku seraya memandangi matanya yang sayu.
"Setahuku sih begitu...., mungkin kau lagi patah hati ya?" tanyanya melesat dan menghunus dadaku. Aku sedikit terkejut dan pelan-pelan menghela nafas.

Kedatanganku di kota Yuni ini bukan kemauanku. Sejak tiga tahun ini bisnisku lumayan merangkak naik dan mengharuskan bolak-balik dari berbagai kota untuk singgah sebentar urusan bisnis. Kali ini, aku singgah di sebuah kota dimana Yuni tinggal. Sebuah kota yang membawa perjumpaanku dengan Yuni setelah lulus SMA. Dua tahun yang lalu saat reuni SMA kami sempat bertukar nomor ponsel dan baru kali ini bertemu kembali. Berdua saja. "Ini masalah perasaan" demikian bisik hatiku.

"Aku tak pernah patah hati" sahutku, kulihat Yuni hanya diam. Matanya memandang jauh keluar. Sesekali nafasnya tak teratur. Aku tak tahu apakah ia memendam kecewa ataukah sebaliknya.
"Maafkan aku jika menyinggung perasaanmu" pintaku. Yuni tetap saja terdiam dan menundukkan wajahnya seperti menahan sesuatu.

"Kau masih lama di kota ini? jika mau menginaplah di rumahku saja" tiba-tiba Yuni mengangkat wajahnya dan memberi penawaran yang tak kuduga.
"Aku? menginap di rumahmu?" aku gelagapan mendengar tawaran Yuni.
"Ish...ish..., di rumahku ada keponakan juga, ayo berangkat" ajak Yuni.

Aku hanya khawatir bagaimana jadinya tidur di rumah seorang perempuan yang belum menikah. Untunglah bayangan itu segera buyar saat Yuni mengenalkan satu persatu keponakannya yang ternyata tiga orang laki-laki. 

"Ini Yudi, ini Soni, dan ini paling kecil si Arman" Yuni mengenalkan satu persatu keponakannya.
"Hai semua, sorry mau nginap disini, boleh ya?" aku mencoba permisi kepada mereka.
"Tidurlah di kamar Soni, di lantai dua, besok pagi kau akan lihat pemandangan yang bagus, percayalah" saran Yuni usai mengenalkan ketiga keponakannya. 

Sebuah rumah besar yang menurutku cocok untuk keluarga besar pula. Sayang, hingga kini Yuni masih mengaku belum bisa menerima lelaki dalam hidupnya. Bahkan saat SMA dulu Yunilah yang mengakhiri pacaran. Aku diputus dengan dalih tak mau diganggu saat kuliah. Waktu itu spontan pikiranku kalut. Beberapa tahun tak bisa menghapus nama Yuni. Memang aku sangat ugal-ugalan saat itu. Menurutku itu hal wajar, dimana seorang lelaki biasanya belum sedewasa perempuan.

"Ah konyolnya aku, mengapa dulu aku tak begitu serius ya?" tanyaku dalam hati. Bahkan aku tak melanjutkan kuliah. Orang tuaku sempat marah melihat kondisiku yang drop karena diputus Yuni. Bagiku Yuni adalah bagian dari cita-cita. Kendati demikian aku tak sakit hati. Aku tak patah hati. Sebab aku yakin Yuni akan tetap bahagia dengan cintanya. Sampai beberapa tahun kemudian aku telah melupakan itu semua. Aku menikah dengan perempuan lain dan dikaruniai seorang anak.

---------- ********** ----------

"Sudah kusiapkan kopi pahit di meja makan, sepotong roti bakar kesukaanmu" sebuah pesan pada secarik kertas dekat jam weker. Mataku yang masih terasa berat langsung membelalak. Bukan karena jam weker yang entah siapa menyetelnya sehingga aku terbangun. Tapi, gara-gara secarik kertas itu, aku seperti diperhatikan. Istriku saja tak pernah memperhatikanku seperti ini.

Kuambil kopi pahit buatan Yuni dan sepotong roti bakar, lalu kubawa naik ke kamar. Kubuka jendela dan kulihat pemandangan diluar yang mengesankan. Sebuah gunung dengan pepohonan pinus yang masih nampak lebat. Aku seperti tersihir oleh situasi dalam kamar ini. Wajah anak dan istriku tak membekas sama sekali.

Maka kusebar pandanganku ke segala sudut kamar. Ada sebuah almari model kuno yang teronggok di sudut kamar. Iseng kudekati dan mencoba membukanya. Kulihat tumpukan album foto, kuberanikan diri meraih sebuah album foto. Kubuka lembaran album foto itu. Ternyata album foto Yuni. Ada fotonya saat SMA, tubuhnya masih kerempeng. Terpampang pula foto-foto saat ia kuliah di depan kampus, serta beberapa foto yang menurutku aneh. "Ya, ini aneh" gumamku.

Dalam foto yang menurutku aneh itu nampak Yuni bersama dengan lelaki yang wajahnya di lubangi. Aku tak begitu jelas menerka siapa lelaki itu. Beberapa foto lainnya nampak pula foto wajah lelaki itu seperti bekas disundut api, entah dari rokok atau apa aku sendiri tak tahu. Ada bekas terbakar di sekitar lubang yang berada tepat di wajah lelaki itu. Yang mengejutkan, di halaman akhir ada fotoku dengan Yuni saat merayakan kelulusan SMA. Aku memang nampak ugal-ugalan saat itu. Rambut acak-acakan dan berkacamata hitam. "Ah, aku memang konyol" gumamku sendirian.

"Hai, sudah bangun rupanya. Gimana nyenyak nggak tidurnya semalam. Nah benar kan pemandangannya indah?" tiba-tiba Yuni membuka pintu kamar seraya nyerocos saja. Aku tak sempat menutup album foto dan Yuni menyadari hal itu.
"Kau sudah lihat album fotoku pula? Hahahah, nggak usah kikuk, biasa saja" selorohnya sembari menuju ke pinggir bed dimana aku duduk dan masih memegang album foto. Yuni segera duduk berdampingan denganku.

"Yun, boleh aku tanya?" tanyaku dengan bibir bergetar.
"Ssst...santai aja, nggak usah tegang gitu, tanyalah, apa saja" balasnya.
"Lelaki yang wajahnya kau lubangi ini siapa?" tanyaku seraya menunjuk sebuah foto.
"Oh itu, Firman, mantanku saat kuliah dulu, kenapa? kau kenal? atau....., kau cemburu ya?" tukas Yuni memandangiku sambil tersenyum kecut.
"Iiihh..., siapa yang cemburu. Kenapa kau lubangi wajahnya? bukankah kau bisa membuang saja foto itu?" elakku seraya sok-sok an memberi saran.
"Tuh kan, kau cemburu kan? Kalau dibuang ada fotoku sayang" Yuni seperti keceplosan.
"Sayang?" dahiku mengernyit heran, meski begitu telingaku senang mendengar panggilan itu.

Yuni mengatupkan kedua telapak tangan dan menutupi bibirnya. Ia seperti kikuk. Sementara aku sendiri masih bertanya satu hal tentang fotoku di halaman terakhir album foto.

"Mengapa wajahku tak kau lubangi?" tanyaku dengan sekuat hati.
"Entahlah, aku seperti bersalah memutusmu, dan hingga kini kuanggap kau lelaki yang tetap tegar, maafkan aku ya?" pungkas Yuni lirih. Tangannya meraih tanganku, kurasakan kehangatan yang tak bisa kulukiskan dengan apapun. Yuni memelas mohon maaf kepadaku atas keputusannya di masa silam. Dadaku berdesir.

"Aku sudah lega, pulanglah. Istri dan anakmu menunggu di rumah. Jika ke kota ini lagi, hubungi aku dan menginaplah disini" kata Yuni sebelum membalikkan badan meninggalkanku termangu sendiri. 

Anganku melesat menjumpai bayang wajah istri dan anakku yang tak tahu apa-apa perihal ini. Aku seperti tersesat dalam labirin masa lalu. Kututup album foto itu dan kuberesi semua pakaianku ke dalam tas. Aku harus pulang sekarang. Aku tak ada urusan dengan fotoku yang tersimpan dalam album. Itu hanya soal waktu saja. Pagi itu aku pulang dengan setumpuk kenang yang hampir saja menjadi jalang


MALANG, 21 Agustus 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun