Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jogging

Sesungguhnya aku tiada, hingga Tuhan membenamkan cinta di relung rusuk

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saat Palu Tidak untuk Memaku

11 Agustus 2020   00:39 Diperbarui: 11 Agustus 2020   17:09 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kang Marwan pembuat perkakas dari besi. Lebih tepatnya disebut pande besi, ahli membuat pisau, belati, arit, pacul serta perkakas berbahan besi. Namun begitu, Kang Marwan memiliki keahlian khusus dalam membuat kepala palu. "Selama masih ada tukang bangunan, maka palu ini akan tetap menjadi perkakas yang dibeli" ujar Kang Marwan sambil tangannya memompa tungku pembakaran besi. "Emangnya hanya tukang bangunan yang pakai palu pakde?" canda Iwan.

"Ya nggak lah, kita juga butuh palu, lha ini buktinya" jawab Kang Marwan seraya menunjukkan martil untuk menempa besi membara.
"Kalau menurutku sih palu itu bisa untuk membangun rumah, menghakimi terdakwa dan membunuh" Iwan mencoba unjuk tahu.
"Halah ngomong apa sih kamu ini, sekolah bolosan kok bawa-bawa menghakimi segala" sengit Kang Marwan.

Saat ini Kang Marwan hanya berdua menggeluti keahlian pande besi. Satu orang lainnya adalah Iwan, yang masih keponakannya sendiri. "Mending kamu bantu saya dulu Wan, menggantikan Mbah Sudirman yang renta" saran Kang Marwan beberapa waktu lalu saat melihat Iwan luntang-lantung mencari pekerjaan. Seusai lulus SMA Iwan tak punya niat meneruskan kuliah. Selain tak ada biaya, ia sendiri sudah malas belajar. Kang Marwan-lah yang merayu Iwan supaya mau membantu kerja di pande besi. Sebuah keahlian yang membutuhkan otot dan ketepatan dalam menempa. 

"Ini kerjaan halal ya Pakde?" canda Iwan.
"Woooo ponakan ngeyel!, nggak hanya seratus persen halal, ini sejuta persen halal, kamu itu ngawur kalau ngomong" balas Kang Marwan.
"Hehehe, gitu aja sewot pakde, kan saya khawatir aja," timpal Iwan.
"Halah sok-sok an khawatir, apa yang kamu khawatirkan?" tanya Kang Marwan.
"Khawatir apinya ini dari neraka jahanam" goda Iwan sambil menahan tawa.
"Lah.....bocah edan, ngawur tingkat dewa kamu ini" ketus Kang Marwan.

Apa yang bisa diandalkan oleh remaja semacam Iwan. Sekolah sering membolos, kalau malam keluyuran. Bisa lulus sekolah saja rasanya bersyukur sekali. Apalagi lulusan sekarang tak bergantung nilai ujian maupun mengerjakan soal-soal yang selama ini diperoleh dari pelajaran sekolah. Praktis lulus semua, dan tidak ribet. Mau kerja? cari sendiri. Nggak kerja? ya kuliah. Nggak mampu kuliah? silahkan pilih, mau serabutan boleh, mau pengangguran juga masih banyak stok.

"Saya sudah capek mikir pelajaran Pakde, pengennya segera lulus sekolah lalu kerja dan punya duit sendiri" cerita Iwan suatu hari kepada Kang Marwan.
"Terserah kamu, sudah dewasa, masak pakde terus-terusan ngatur kamu" ketus Kang Marwan serius.

Sekolah di zaman sekarang tantangannya bukan hanya perkara baca tulis dan berhitung. Ada tantangan yang mulai menjadi bom waktu, yaitu malas, asyik dengan handphone dan gim (game) berbayar. 

"Lha mana bisa paham pelajaran, lha wong jam pertama ada di kelas, tapi jam kedua dan ketiga menghilang. Tiba di rumah langsung main gim" sahut Kang Marwan saat mendengar cerita Iwan di sela-sela mengerjakan pesanan kepala palu.
"Hahahaha, lha ya itu pakde, teman-teman yang ngajak, jadi ya ngikut saja" seloroh Iwan.
"Nah, sekarang baru tahu rasa kan? siapa yang sudi menerima pegawai kayak kamu" balas Kang Marwan bijak.
"Ah sudahlah pakde, jaman sekarang cari kerja memang susah, tapi kalau dapat uang gampang" celoteh Iwan seolah menangkis nasehat pakde-nya.
"Duit dari Hong Kong!" pungkas Kang Marwan.
"Yeeey nggak percaya pakde, lihat tuh youtubers, gamers dan buzzer semua mudah cari duit" balas Iwan.
"Sudah jangan berkhayal, ambil martirmu, ayo tempa ini" pungkas Kang Marwan menyudahi percakapan pagi itu.

Keduanya mengurung kata-kata, hanya tangan mereka yang berkata-kata bergantian dengan menempa besi membara. Keringat di tubuh mereka langsung deras mengucur. Otot orang tua dan remaja itu saling menonjol. Hanya suara tang-teng tang-teng bergantian seperti irama kehidupan yang keras.

"Ini upahmu, syukuri saja, cari duit susah." Kang Marwan menyerahkan upah kepada Iwan sebesar sepuluh ribu rupiah. Iwan hanya cengar-cengir saja meraih upah pemberian pakde-nya.
"Yah, cuma sepuluh ribu pakde?" Iwan merasa heran dengan upahnya.
"Tuh kan Rewel?, sini kalau nggak mau" pinta Kang Marwan yang juga merasa heran dengan ulah keponakannya itu.
"Katanya ada duit dari Hong Kong?" goda Iwan.

************

Esok hari, entah mengapa Iwan tak nampak batang hidungnya. Terpaksa Kang Marwan bekerja seorang diri, sebisanya, semampunya. Namun, Kang Marwan justru bertanya-tanya kemana remaja tengil itu. Berbagai cemas menempa kepala Kang Marwan, ada apa, kemana, dengan siapa dan berbagai tanya lainnya. Meski jarak rumah Iwan dan Kang Marwan tidak jauh, tapi Iwan hidup sendiri. Hanya makan dan minum saja yang terkadang numpang di Kang Marwan, pakdenya semata wayang.

Kang Marwan sendiri pantas mengkhawatirkan Iwan, sebab remaja itu titipan dari adik kandungnya sendiri yang meninggal dua tahun lalu karena over dosis obat-obatan terlarang. Kehidupan di kota terkadang merenggut orang sederhana untuk berpikir jalan pintas dan akhirnya merugikan diri sendiri. Maunya cepat dapat uang, tapi malah terperosok dalam candu obat-obatan terlarang. Mereka seolah lupa kemana muara segala perbuatan itu. Pastinya kalau tidak tertangkap polisi ya mati over dosis.

Kang Marwan hanya khawatir Iwan meniru bakat orang tuanya yang berisiko menempuh jalan pintas. Ibu Iwan yang sekaligus adik kandung Kang Marwan adalah saudara bungsu yang sejatinya pendiam. Namun, sejak kenal dengan Hadi dan menikah, semuanya menjadi berubah. Selain faktor ekonomi, pengaruh pergaulan Hadi membuat Ibu Iwan terseret dan tak mampu berbuat banyak. Apalagi memikirkan sekolah Iwan anak semata wayangnya. 

Hadi meninggal dunia duluan karena over dosis saat Iwan menjelang masuk SMP. Praktis, kini Iwan menjadi anak yatim piatu dari orang tua yang kecanduan obat dan meninggal karena over dosis. Hal itulah yang menjadikan Kang Marwan was-was. Apalagi kepribadian Iwan masih labil dan sesekali ia menjumpai Iwan berteman dengan beberapa orang dewasa.

"Betul ini rumah bapak Marwan?" tiba-tiba dua orang berjaket hitam menemui Kang Marwan usai memberesi alat-alat kerjanya.
"Betul, bapak-bapak ini siapa dan darimana?" Kang Marwan terkejut.
"Kami dari kepolisian. Kami mengembangkan kasus tertangkapnya Iwan, terduga pelaku penipuan penjual emas batangan."
"Haaa? emas batangan? yang benar aja!" mata Kang Marwan membelalak mendengar penjelasan dari polisi tersebut.
"Ya, kata Iwan kepala palu ini buatan bapak. Iwan telah memodifikasi kepala palu ini menyerupai emas batangan."

Kang Marwan tentu saja mengiyakan bahwa kepala palu itu buatannya. Namun ia mengelak jika dikaitkan dengan aksi penipuan memodifikasi kepala palu menjadi emas batangan. Bahkan, ia bersedia memenuhi panggilan polisi untuk menjadi saksi. Intinya tak ada modifikasi kepala palu menjadi emas. Meskipun Iwan keponakan sendiri, sanksi tetaplah menjadi pelajaran. Iwan tersangka tunggal. Ia merencanakan sendiri serta memodifikasi kepala palu menjadi batangan yang menyerupai emas batangan dalam aksi penipuannya.

Hati Kang Marwan duka. Keponakan yang dititipkan adik kandungnya bernasib tragis. Kang Marwan semakin sedih tatkala ia melihat sang hakim mengetok palu dengan keras, "Hukuman bagi saudara Iwan adalah kurungan selama tiga tahun dengan masa percobaan sembilan bulan" kata Hakim saat membacakan hasil keputusan sidang. 

Saat itu Kang Marwan seperti teringat gurauan Iwan yang mengatakan bahwa palu bisa digunakan untuk membangun, menghakimi, dan membunuh. Sebuah pepatah mengingatkan dirinya, "Jika satu-satunya alat yang anda miliki hanyalah palu, maka anda cenderung melihat permasalahan sebagai paku." 

"Semoga ini menjadi pelajaran bagi Iwan, dan semoga ia tidak menggunakan palu untuk membunuh" do'a dalam batin Kang Marwan.


SINGOSARI, 11 Agustus 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun