Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jogging

Sesungguhnya aku tiada, hingga Tuhan membenamkan cinta di relung rusuk

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saat Palu Tidak untuk Memaku

11 Agustus 2020   00:39 Diperbarui: 11 Agustus 2020   17:09 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Esok hari, entah mengapa Iwan tak nampak batang hidungnya. Terpaksa Kang Marwan bekerja seorang diri, sebisanya, semampunya. Namun, Kang Marwan justru bertanya-tanya kemana remaja tengil itu. Berbagai cemas menempa kepala Kang Marwan, ada apa, kemana, dengan siapa dan berbagai tanya lainnya. Meski jarak rumah Iwan dan Kang Marwan tidak jauh, tapi Iwan hidup sendiri. Hanya makan dan minum saja yang terkadang numpang di Kang Marwan, pakdenya semata wayang.

Kang Marwan sendiri pantas mengkhawatirkan Iwan, sebab remaja itu titipan dari adik kandungnya sendiri yang meninggal dua tahun lalu karena over dosis obat-obatan terlarang. Kehidupan di kota terkadang merenggut orang sederhana untuk berpikir jalan pintas dan akhirnya merugikan diri sendiri. Maunya cepat dapat uang, tapi malah terperosok dalam candu obat-obatan terlarang. Mereka seolah lupa kemana muara segala perbuatan itu. Pastinya kalau tidak tertangkap polisi ya mati over dosis.

Kang Marwan hanya khawatir Iwan meniru bakat orang tuanya yang berisiko menempuh jalan pintas. Ibu Iwan yang sekaligus adik kandung Kang Marwan adalah saudara bungsu yang sejatinya pendiam. Namun, sejak kenal dengan Hadi dan menikah, semuanya menjadi berubah. Selain faktor ekonomi, pengaruh pergaulan Hadi membuat Ibu Iwan terseret dan tak mampu berbuat banyak. Apalagi memikirkan sekolah Iwan anak semata wayangnya. 

Hadi meninggal dunia duluan karena over dosis saat Iwan menjelang masuk SMP. Praktis, kini Iwan menjadi anak yatim piatu dari orang tua yang kecanduan obat dan meninggal karena over dosis. Hal itulah yang menjadikan Kang Marwan was-was. Apalagi kepribadian Iwan masih labil dan sesekali ia menjumpai Iwan berteman dengan beberapa orang dewasa.

"Betul ini rumah bapak Marwan?" tiba-tiba dua orang berjaket hitam menemui Kang Marwan usai memberesi alat-alat kerjanya.
"Betul, bapak-bapak ini siapa dan darimana?" Kang Marwan terkejut.
"Kami dari kepolisian. Kami mengembangkan kasus tertangkapnya Iwan, terduga pelaku penipuan penjual emas batangan."
"Haaa? emas batangan? yang benar aja!" mata Kang Marwan membelalak mendengar penjelasan dari polisi tersebut.
"Ya, kata Iwan kepala palu ini buatan bapak. Iwan telah memodifikasi kepala palu ini menyerupai emas batangan."

Kang Marwan tentu saja mengiyakan bahwa kepala palu itu buatannya. Namun ia mengelak jika dikaitkan dengan aksi penipuan memodifikasi kepala palu menjadi emas batangan. Bahkan, ia bersedia memenuhi panggilan polisi untuk menjadi saksi. Intinya tak ada modifikasi kepala palu menjadi emas. Meskipun Iwan keponakan sendiri, sanksi tetaplah menjadi pelajaran. Iwan tersangka tunggal. Ia merencanakan sendiri serta memodifikasi kepala palu menjadi batangan yang menyerupai emas batangan dalam aksi penipuannya.

Hati Kang Marwan duka. Keponakan yang dititipkan adik kandungnya bernasib tragis. Kang Marwan semakin sedih tatkala ia melihat sang hakim mengetok palu dengan keras, "Hukuman bagi saudara Iwan adalah kurungan selama tiga tahun dengan masa percobaan sembilan bulan" kata Hakim saat membacakan hasil keputusan sidang. 

Saat itu Kang Marwan seperti teringat gurauan Iwan yang mengatakan bahwa palu bisa digunakan untuk membangun, menghakimi, dan membunuh. Sebuah pepatah mengingatkan dirinya, "Jika satu-satunya alat yang anda miliki hanyalah palu, maka anda cenderung melihat permasalahan sebagai paku." 

"Semoga ini menjadi pelajaran bagi Iwan, dan semoga ia tidak menggunakan palu untuk membunuh" do'a dalam batin Kang Marwan.


SINGOSARI, 11 Agustus 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun