Zaenal masih tertahan di kamar tidurnya, padahal hangat mentari sedang menerobos berbagai celah di rumahnya yang terbuat dari berbagai gabungan bahan. Ada anyaman bambu, ada triplek, ada kardus dan sedikit sumpalan plastik.
Rumah dengan lahan seukuran dua kamar itu memiliki dapur di belakang rumah dekat sumur dan selembar bekas spanduk untuk menutupi saat mandi.
Untunglah tetangga Zaenal berbaik hati, memberi sedikit lahan untuk tempat tinggal. Jangan tanya jika hujan deras, sudah pasti mereka akan berkumpul di kamar dengan derai hujan yang menyelinap di kamar. Bocor disana-sini.
Zaenal memiliki tiga anak, yang pertama Burhan yang saat ini bekerja sebagai buruh angkut di pelabuhan kecil dekat rumah. Usia Burhan masih 19 tahun, namun selepas SMP ia harus merelakan diri untuk bekerja membantu orang tuanya.
Anak kedua Fitri, saat ini sudah tak ada keinginan untuk melanjutkan sekolah. Saat pandemi seperti ini Fitri harus mengerjakan tugas sekolah secara daring (online). SMP kelas 2 dan tinggal sedikit kelas 3, tapi tak punya handphone, apalagi paket data yang biayanya bisa digunakan makan sehari.
"Sudahlah Fit, yang penting kamu sudah bisa baca tulis, Ayah tak sanggup membiayai sekolahmu" sebuah pernyataan pahit dari ayah Fitri pada suatu sore.Â
Masak tiap hari pinjam handphone tetangga hanya untuk mengerjakan tugas sekolah. Rasanya malu dan tak punya harga diri. Melihat situasi seperti itu memaksa Fitri mengikuti jejak kakaknya, yaitu bekerja. Fitri bekerja di sebuah depot di Kota, sekitar 5 km. dari rumahnya.
Anak paling kecil bernama Wahyu. Beruntung saat situasi pandemi dan mengharuskan belajar di rumah ini ia berhasil menuntaskan sekolah dasarnya. Wahyu tak punya angan-angan melanjutkan sekolah pula. Ibunya yang dekat dengannya justru mengajaknya menjadi tukang pijat keliling.
Bagi Wahyu ajakan ibunya ini lumayan enak dibanding nasib kakak-kakanya. Maklum tenaga anak kecil tentu tak sebanding. Wahyu hanya kebagian tugas menginjak-injak punggung. Sedangkan ibunya memijat kaki, lengan dan pundak.
ZAENAL YANG LAPAR MENDAPAT STIKER
Seperti pagi-pagi sebelumnya, Zaenal sebagai penjaga rumah. Ia menderita stroke ringan yang mengakibatkan bibirnya seperti terangkat sebelah. Sekujur tubuhnya bagian kiri bahkan mati rasa sulit untuk digerakkan.
Sebagai mantan pekerja serabutan, Zaenal mau tak mau menerima nasib bahwa keluarganya adalah pewaris pekerja serabutan. Jika ada rejeki bisa makan, jika tidak ada rejeki maka keluarga itu merayakan kemiskinan dengan tidur-tiduran di kamar. Mereka seperti memainkan orkesta lambung yang bergantian menyuarakan nada sumbang.
Pagi ini rumah Zaenal nampak sepi. Istrinya, serta anak-anaknya sudah mulai bekerja mengais rejeki. Sekira jam sembilan pagi beberapa rombongan pegawai dari kantor desa mengunjungi rumah Zaenal.
Mereka sedang mendata keluarga tidak mampu. Pemerintah akan memberi bantuan bagi keluarga terdampak pandemi. "Ini ditempel dimana pak?"Â tanya salah satu pegawai desa saat hendak memasang stiker.
Mereka kebingungan. Tak ada tempat yang bisa untuk menempel stiker keluarga miskin. Stiker itu selalu lepas karena permukaan anyaman bambu yang tidak rata dan berdebu.Â
Akhirnya stiker itu diserahkan Zaenal. "Simpan saja pak, yang penting kami sudah mendata keluarga bapak" pesan kepala desa menentramkan Zaenal. Mendengar saran seperti itu Zaenal hanya mengangguk antara mengiyakan dan khawatir apakah nanti benar-benar menerima bantuan seperti yang disampaikan kepala desa.
"Bapak sudah sarapan?" salah satu pegawai kantor desa penasaran melihat Zaenal yang terus memegangi perutnya. Zaenal hanya menggeleng pelan dan tersenyum kecut. Ia malu mengatakan yang sebenarnya, sebab perutnya telah menjawab lebih dulu "Kreuukk....kreuuuk"
"Bapak ada saran atas program ini?"Â tanya kepala desa. Diusaplah wajah Zaenal dengan tangan kanannya. Ia bingung menjawab apa, tapi dibenaknya berputar-putar tentang apa yang dilihatnya selama ini.
"Sebenarnya kami hanya ingin bantuan seperti ini tepat sasaran. Tetangga kami ada yang mampu tapi malah dapat bantuan, sedangkan kami yang seperti ini malah tidak dapat apa-apa. Lagipula kami juga tidak tahu bagaimana bisa mendapatkan bantuan seperti itu. Untunglah bapak-bapak kesini, tahu betul kondisi kami."
SYUKURAN
Malam semakin beranjak meninggalkan senja. Istri dan anak-anak Zaenal pulang. Istri dan anak bungsu membawa sebungkus kopi dan sebungkus nasi. Burhan membawa kerupuk dan sebungkus nasi. Fitri membawa sebungkus teh dan beberapa tempe tahu.
Malam itu keluarga Zaenal bersyukur, bisa makan bersama. Mereka juga membawa cerita masing-masing secara bergiliran. Saat Zaenal mengeluarkan stiker keluarga tidak mampu, mereka sontak bahagia. Maka berpelukanlah anak manusia itu berucap syukur. "Tuhan masih bersama kita Bu" bisik Zaenal kepada istrinya.
Bagaimanapun juga, setiap keluarga memiliki hal yang berharga selain anak-anak mereka. Bagi keluarga lain mungkin harta melimpah adalah anugerah dan kebahagiaan. Tapi, bagi keluarga Zaenal mendapatkan stiker keluarga miskin adalah syukur tiada henti. Maka, berbahagialah dan bersyukur selalu.
SINGOSARI, 4 Juli 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H