Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jogging

Sesungguhnya aku tiada, hingga Tuhan membenamkan cinta di relung rusuk

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Jeruk Kecut

26 Mei 2020   23:53 Diperbarui: 27 Mei 2020   15:16 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padahal untuk urusan menemui klien semua atas biaya kantor. Namun, pekerjaanku menuntut keahlian meyakinkan orang. Utamakan gaya dulu, demikian saran beberapa teman-teman. 

"Nggak usah mas, Pak Darto tidak merokok" pungkasku sembari menyingkirkan basa basi lain agar pria itu segera pergi. Nafasku terasa lega setelah mobil pria perlente itu berlalu meninggalkan warung. Aduh, gobyos, keringat benar-benar kecut.

Dan benar, ini pertanda buruk seperti instingku. Sesampai di kontrakan, sebuah pesan masuk ke handphone, "Mas besok pagi saya ada janji keluar kota, mungkin untuk konsultasi dtunda dulu ya, nanti saya kabari lagi." Biasanya, pesan seperti ini mengisyaratkan pembatalan alias tidak closing. Itu artinya aku tidak bisa memenuhi target, dan ini membuatku semakin ingin pulang ke desa.

Sampai kapan aku harus berpura-pura? aku benar-benar ingin merawat kebun jeruk warisan Ayah. Aku tak ingin lagi pakai dasi menemui klien. Aku tak ingin pakai parfum massal yang disediakan kantor, lalu naik mobil kantor menemui klien. 

Mirip orang kaya, tapi tinggal di rumah kontrakan. Aduh kecut sekali. Belum lagi yang satu ini, "Kau tahu siapa Pak Darto sebenarnya?" ya, dialah pemilik kontrakan yang sudah dua bulan ini menagih tunggakanku.

Terkadang orang baik tiba-tiba bisa kita benci dan dijadikan kambing hitam dalam urusan menutupi aib. Bukankah kata orang untuk menutupi kebohongan harus menggunakan kebohongan lainnya. Hemmm, bahkan aku sendiri tak mengurusi berapa neraca dosa atas segala kebohongan yang kuucapkan.

Kadang begitulah di kota. Menipu, mencopet, mencuri dan menunggak menjadi nasi yang dibungkus rapat, kalau tidak hati-hati bisa basi atau terbuka dan tumpah di jalan. Kalau sudah begini hanya ingin taubat.

Cukup sudah rasanya. Aku benar-benar mau pulang ke desa. Stop! Mau pulang ke desa? Kata Bibi Ijah, ini masih masa pandemi, pintu gerbang desa ditutup rapat dengan bambu, dijaga empat orang hansip. Warga lain tak boleh masuk. Olala, padahal KTP-ku masih tercatat sebagai warga desa. Aduh nasib, kecutnya melebihi jeruk.

SINGOSARI, 26 Mei 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun