Apakah begini menjadi seorang anak? setelah lahir dan dibesarkan lalu pergi meninggalkan orang tua. Sedangkan dengan mudahnya kita memikirkan orang tua hanya mengandalkan uang belanja yang ditransfer bulanan dari anak-anaknya? "Ah, anak macam apa aku ini?" gerutuku semakin liar.
Pasti ibuku sedih tak berkesudahan, tak ada satupun anaknya yang mendampingi di rumah pusaka. Rumah dimana Ayah membesarkan aku dari berkebun jeruk hingga akhir hayatnya.
"Mas turun mana?, ini terminal Bungurasih!" seru kenek seraya menepuk pundakku. "Ups, apes nih, harusnya aku turun Medaeng untuk melanjutkan perjalanan ke Krian"Â gerutuku semakin menggila.Â
Ya sudahlah, aku harus naik angkot untuk kembali ke arah Medaeng yang terlewatkan gara-gara melamun. Kau tahu kan rasanya kembali ke tempat tujuan dengan mengulangi naik dengan kendaraan lain? Ya, ini kerja dua kali dan sungguh menyebalkan.
"Berapa mas?" tanyaku pada sopir angkot seraya merogoh saku baju. "Lima ribu mas" balas sopir angkot. Mendadak keringatku keluar deras. Uang yang kutaruh di saku baju tidak ada. Terpaksa aku sodorkan uang dari dompet, sepuluh ribuan.
"Nggak apa-apa yang penting bayar, nah, uangku yang tadi kemana?"Â Sambil menendang botol plastik yang terbuang di pinggir jalan, aku mendamprat nasibku hari ini.
"Jelas, uang di saku ini pasti dicopet pengamen cilik tadi. Pantas saja ia menekan tangannya ke dadaku dengan kuat."Â Haduh, haduh, sakuku bau kecut, kucium sendiri bau telapak tanganku sekembalinya merogoh saku baju. Â
BEBERAPA MENIT KEMUDIAN
Sembari menunggu bus kecil ke arah Krian, mataku tertuju pada sebuah warung kecil di pinggir jalan. Lumayan jalanan tak seramai biasanya. Mungkin ini efek dari Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB.Â
Biasanya kalau jalanan ramai lumayan agak berdebu. Sebab itulah aku enggan mampir ke warung untuk sekedar menyeruput kopi atau menghisap kretek.
Tapi untuk sore ini aku bergumam tipis, "Kali ini di Medaeng istirahat dulu baru lanjut ke Krian".